Rabu, 11 November 2015

TEORI KEBUDAYAAN DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kebudayaan berasal dari kata buddayah yang berarti akal, maka tentunya budaya hanya dicapai dengan kemampuan akal yang tinggi tingkatanya yang dimiliki oleh manusia. Kebudayaan merupakan sebagai seluruh sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan manusia dengan belajar (menurut koentjaraningrat 1991). Kebudayaan itu harus dipelajari, pembelajaran tersebut melalui enkulturasi yakni proses sosial budaya yang dipelajari dan ditransmisikan dari generasi ke generasi. Kebudayaan bukanlah milik seorang saja namun justru adanya anggota dari suatu kelompok. Kebudayaan adalah simbol yang berarti olahan pikir yang memungkinkan untuk mengkodekan atau membukakan kode dari sesuatu yang hadir dihadapan kita. Kebudayaan tidak melalui sesuatu yang tampil, berwujud dan indah. Segala apa yang hadir di sekitar manusia adalah bagian dari kebudayaan yang datang secara berkelanjutan. Bahkan, mungkin ada hal-hal yang terlihat remeh justru harus diperhatikan. Kebudayaan juga bukanlah sekumpulan hal yang berpisah-pisah satu sama lain. Sebaliknya, kebudayaan merupakan satu kesatuan dari banyak hal, termasuk sistem masyarakat.
Kebudayaan disampaikan oleh satu generasi ke generasi berikutnya serta dari satu kurun waktu ke kurun waktu berikutnya. Dari perspektif generasi muda, kebudayaan dipelajari oleh generasi muda dari generasi-generasi sebelumnya. Jadi, ada proses penyampaian kebudayaan (transmision of culture) dan ada proses memperoleh kebudayaan (the acquisition of culture). Satu generasi mengajarkan atau memindahkan kebudayaan dan generasi yang lain atau berikutnya belajar dan menerimanya. Penyampaian kebudayaan mencakup proses belajar dan mengajar, karena itulah pemahaman tentang hakikat kebudayaan sangat penting sekali artinya bagi orang-orang yang bergerak dalam dunia pendidikan khususnya dan orang-orang yang terlibat dalam pembuat kebijakan pendidikan pada umumnya. Pendidikan, baik yang bersifat formal, informal, maupuan nonformal mendapat pengaruh dari kebudayaan yang ada dalam masyarakat. Di sekolah, para siswa menerima warisan budaya yang telah dipersiapkan dan dirancang dalam  kurikulum. Dalam lingkungan keluarga, anak-anak mendapatkan pengalaman budaya langsung dari orang tua, adik kakak, sanak saudara, pengasuh, dan orang-orang yang dekat dengannya. Dari kenyataan yang ada nampak bahwa kebudayaan perlu dikembangkan dengan cara pendidikan. Anak muda tidak akan matang secara budaya  tanpa ditunjukkan bagaimana menjadi dewasa.  Anak-anak juga menyadari bahwa teknik kedewasaan  mesti dipelajari dari orang dewasa. Masyarakat paham  bahwa penyampaian kebudayaan mereka tidak dibiarkan  terjadi secara kebetulan saja. 

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian antropologi?
2.      Apa saja macam-macam teori kebudayaan?
3.      Bagaimana implikasi teori kebudayaan dan implikasi dalam pendidikan?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui dan memahami pengertian antropologi.
2.      Untuk mengetahui dan memahami macam-macam teori kebudayaan.
3.      Untuk mengetahui dan memahami implikasi teori kebudayaan dan implikasi dalam pendidikan.

D.    Manfaat
1.      Bagi Penulis
a.    Dapat mengetahui pengertian antropologi.
b.    Dapat mengetahui macam-macam teori antropologi.
c.    Dapat mengetahui implikasi kebudayaan dan implikasi dalam pendidikan.
2.      Bagi Pembaca
a.    Menambah pengetahuan serta wawasan macam-macam teori antropologi.
b.    Menambah pengetahuan serta wawasan implikasi kebudayaan dan implikasi dalam pendidikan.





BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pengertian Antropologi
Ilmu antropolgi sebagai suatu ilmu yang mempelajari makhluk anthropos atau manusia, merupakan suatu integrasi komplek masalah-masalah khusus mengenai makhluk manusia. Proses integrasi merupakan suatu proses perkembangan panjang yang dimulai sejak kira-kira permulaan abad ke – 19 yang lalu, dan berlangsung terus sampai sekarang. Integrasi itu mulai mencapai bentuk konkret setelah lebih dari enam puluh tokoh antropologi dari berbagai negara Era-Amerika (termasuk ahli-ahli dari Uni Soviet) bertemu untuk mengadakan suatu International Symposium on Anthropology dalam tahun 1951 mengadakan tinjauan menyeluruh dari segala kegiatan ilmiah yang pernah dicapai oleh ilmu anthropologi sampai saat itu. Menghasilkan buku-buku seperti Anthropology Today yang diredaksi oleh A. L. Kroeber (1953), An Appraisal of Anthropology Today yang diredaksi oleh S. Tax et al (1954), Yearbook of Anthropology yang diredaksi oleh W. L. Thomas Jr. (1955), dan Current Anthropology yang diredaksi oleh W. L. Thomas Jr. (1956).
Integrasi yang dicapai sesudah tahun 1951 yang sekarang telah disadari oleh banyak ahli di berbagai negara di mana ilmu antropologi hidup dan hal ini tampak dari buku-buku pelajaran antropologi. Hampir tiap negara yang menjalankan antropologi telah menyesuaikan antropologi dengan ideologi dan kebutuhannya masing-masing. Hal ini disebabkan karena ilmu yang akademis, antropologi mempunyai banyak segi praktisnya. Banyak macam ilmu antropologi di berbagai negara, masing-masing berbeda tidak hanya mengenai segi-segi terapan dari antropologi, akan tetapi juga mengenai segi-segi metodologi dan teorinya.


2.      Macam – macam Teori Kebudayaan
a.      Teori Evolusi Kebudayaan
Evolusionisme adalah perspektif antropologis yang menekankan anilisis pada kompleksitas kebudayaan berkembang sepanjang waktu. Evolusionisme merupakan gagasan untuk analisis teoritis dalam antropologi yang menggunakan dasar bahwa kebudayaan dari setiap masyarakat akan maju berkembang melalui tahapan evolusi yang sama. E. B Taylor dan L. H. Morgan mencetuskan perkembangan kebudayaan manusia pada beberapa tahap. Tahap pertama adalah liar (savegery) yang hidup dengan mengumpulkan buah-buahan, tanaman liar, dan lain sebagainya. Kedua adalah barbarisme (barbarism) mengenal pembuatan alat-alat seperti dari tanah liat atau tembikar, mengadakan irigasi, serta mulai mengembangkan alat-alat logam. Tahap yang ketiga adalah kebudayaan yang beradab (civilization) yang mulai mengembangkan dan memakai alfabet.
1)      Konsep Evolusi Sosial Universal H. Spencer
Ahli filsafat Inggris H. Spancer (1820 – 1903) bersama dengan ahli filsafat Perancis A. Comte termasuk aliran cara berpikir positivisme, yaitu aliran dalam ilmu filsafat yang bertujuan menerapkan metodologi eksak yang telah dikembangkan dalam ilmu fisika dan alam, dalam studi masyarakat manusia. Agak berbeda dengan A. Comte, dalam studi-studinya Spencer mempergunakan bahan etnografi dan etnografika secara sangat luas dan sangat sistematis. Walaupun dalam tulisan-tulisannya Spancer selalu menyebut ilmu pengetahuan yang dilaksanakannya itu “ilmu sosiologi” yaitu istilah yang diciptakan oleh A. Comte, ia juga dianggap sebagai salah seorang tokoh utama dalam timbulnya ilmu antropologi.

Suatu contoh dari teori Spencer mengenai asal mula religi. Pangkal pendirian mengenai hal itu adalah bahwa pada semua bangsa di dunia religi itu mulai karena manusia sadar dan takut akan maut. Serupa dengan pendirian ahli sejarah kebudayaan E. B. Tylor, juga berpendirian bahwa bentuk religi yang tertua adalah penyembahan kepada roh-roh yang merupakan personifikasi dari jiwa-jiwa orang-orang yang telah meninggal terutama nenek moyangnya. Bentuk religi yang tertua ini pada semua bangsa di dunia akan berevolusi ke bentuk religi yang menurut Spencer merupakan tingkat evolusi yang lebih komplek dan berdiferensiasi, yaitu penyembahan kepada dewa-dewa seperti dewa kejayaan, dewa kebijaksanaan, dewa perang, dewa kecantikan, dewa maut dan sebagainya. Namun, walaupun religi dari semua bangsa di dunia pada garis besar evolusi universal akan berkembang dari tingkat penyembahan roh nenek moyang ke tingkat penyembahan dewa-dewa, secara khusus tiap bangsa dapat mengalami proses evolusi yang berbeda-beda.
Contoh lain mengenai anggapan Spancer tentang perbedaan antara proses evolusi universal yang seragam dan proses evolusi khusus secara berbeda-beda, tampak dalam teorinya tentang evolusi hukum dalam masyarakat. Dalam hubungan itu Spencer berpendirian bahwa hukum dalam masyarakat manusia pada mulanya adalah hukum keramat, merupakan aturan-aturan hidup dan bergaul yang berasal dari para nenek moyang. Analisis secara sosiologi maka ketaatan warga masyarakat pada zaman tersebut kepada aturan-aturan yang mereka anggap berasal dari para nenek moyang itu adalah karena mereka saling butuh-membutuhkan dalam kehidupan masyarakat. Azas timbal-balik inilah yang menjaga bahwa seorang individu tidak akan merugikan atau berbuat jahat terhadap sesamanya.
Dalam masalah terakhir Spencer sempat mengajukan juga pandangannya mengenai proses evoluasi pada umumnya. Menurut Spencer, seperti dalam evolusi biologi di mana jenis-jenis makhluk yang bisa hidup langsung itu adalah jenis-jenis yang paling cocok dengan persyaratan lingkungan alamnya, maka dalam evolusi sosial aturan-aturan hidup manusia serta hukum yang dapat dipaksakan tahan dalam masyarakat adalah hukum yang melindungi kebutuhan para warga masyarakat yang paling cocok dengan persyaratan masyarakat di mana mereka hidup yaitu : kebutuhan warga masyarakat yang paling berkuasa, yang paling pandai, dan yang paling mampu. Pandangan ini adalah pandangan Spencer mengenai “survival of the fittest”, yaitu daya tahan dari jenis atau individu yang mempunyai ciri-ciri yang paling cocok dengan lingkungannya.

2)      Teori Evolusi Keluarga J. J. Bachofen
Teori-teori evolusi hukum yang berbeda dari pada teori Spencer diajukan oleh beberapa ahli hukum penting antara lain H. Maine yaitu ahli hukum Inggris yang terkenal dan J. J. Bachofen ahli hukum Jerman. J. J Bachofen juga menjadi terkenal dalam ilmu antropologi karena telah melambangkan teori tentang evolusi hukum milik, hukum waris, dan juga erat bersangkutan dengan teori tentang evolusi betuk keluarga. Teori yang diuraikan Bachofon dalam bukunya Das Mutterrecht (Hukum Ibu) dengan banyak bahan bukti yang tidak hanya diambilnya dari masyarakat Yunani dan Rum Klasik, tetapi juga bahan etnografi dari masyarakat bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan suku-suku bangsa Indian di Amerika. Menurut Bachofen diseluruh dunia keluarga manusia berkembang melalui empat tingkat evolusi. Dalam zaman yang telah lampau dalam masyarakat manusia ada keadaan promiskuitas yaitu di mana manusia hidup serupa binatang berkelompok dan laki-laki serta wanita berhubungan dengan bebas dan melahirkan keturunannya tanpa ikatan. Keadaan ini merupakan tingkat pertama dalam proses perkembangan masyarakat manusia.
Perkawinan antara ibu dan anak laki-laki dihindari dan dengan demikian timbul adat exogami. Kelompok-kelompok ibu tadi itu menjadi luas karena garis keturunan untuk selanjutnya diperhitungkan melalui garis ibu, maka timbul sesuatu keadaan masyarakat yang oleh para sarjana waktu itu disebut matriarchate. Ini adalah tingkat kedua dalam proses perkembangan manusia. Dalam tingkatan ketiga proses perkembangan masyarakat manusia terjadi karena para pria tak puas dengan keadaan ini, lalu mengambil calon-calon isteri mereka dari kelompok-kelompok lain dan membawa gadis-gadis itu ke kelompok-kelompok mereka sendiri. Kejadian ini menyebabkan timbulnya secara lambat-laun kelompok-kelompok keluarga dengan ayah sebagai kepala, dan dengan meluasnya kelompok-kelompok serupa itu timbullah keadaan patriarchate. Tingkat terakhir terjadi waktu perkawinan di luar kelompok yaitu exogami berubah menjadi endogami karena berbagai sebab. Endogami atau perkawinan di dalam batas-batas kelompok menyebabkan bahwa anak-anak sekarang senantiasa berhubungan langsung dengan anggota keluarga ayah maupun ibu. Dengan demikian patriarchate lambat laun hilang dan berubah menjadi suatu susunan kekerabatan yang Bachofen disebut susunan parental.
3)      Teori Evolusi Kebudayaan di Indonesia
Teori evolusi kebudayaan, terutama teori evolusi keluarga dari J. J. Bachofen, juga diterapakan terhadap aneka warna kebudayaan Indonesia oleh ahli antropologi Belanda G. A. Wilken (1847 – 1891). Ia memulai karirnya pada tahun 1869 sebagai pegawai Pangreh Praja (Pamong Praja) Belanda di Buru (Maluku), Gorontalo dan Ratahan (Sulawesi Utara), Sipirok dan Mandailing (Sumatra Utara). Karangan-karangan pertamanya sudah terbit sewaktu ia menjabat sebagai pegawai Pangreh Praja, yaitu mengenai sewa tanah dan mengenai adat pemberian nama di Minahasa (Wilken 1873 – 1875), karangan etnografi singkat dari pulau Buru (1875), juga karangan-karangan teori tentang evolusi perkawinan dan keluarga berjudul Over de Primitieve Vormen van het Huwelijk en de Oorsprong van het Gezin (1880 – 1881). Karangan ini menerangkan tingkat-tingkat evolusi Bachofen mengenai promiskuitas, matriarkhat, patriarkat dan keluarga parental.
Pada umumnya masalah-masalah serta gejala-gejala masyarakat dan kebudayaan ini selalu ada hubungannya dengan teori dasarnya mengenai evolusi keluarga, anggapannya tentang animisme adalah berdasarkan konsepsi seorang ahli yang menganut konsepsi evolusi kebudayaan bernama E. B. Tylor. Tetapi di pihak lain anggapannya tentang totemisme yang menurut Wilken pada mulanya adalah suatu kepercayaan kepada jenis-jenis itu menjadi tempat reinkarnasi roh nenek moyang, telah banyak mempengaruhi anggapan Tylor tentang totemisme. Akhirnya anggapan Wilken tentang hukum adat di Indonesia (Vollenhoven 1928 : 101 – 102). Oleh karena itu karangan-karangannya tentang hukum adat telah diterbitkan dalam jilid tersendiri, yaitu Opstellen Over Adatrecht (1926) di samping karangan-karangannya yang lain dikumpulkan menjadi empat jilid Verspreide Geschriften (1926).
4)      Teori Evolusi Kebudayaan L. H. Morgan
Lewis H. Morgan (1818 - 1881) mula-mula adalah seorang ahli hukum yang lama tinggal di antara suku-suku bangsa Indian Iroquois, Lewis sebagai pengacara bagi orang-orang Indian dalam soal-soal mengenai tanah. Dengan demikian ia mendapat pengetahuan mengenai kebudayaan orang-orang Indian itu. Karangan etnografinya yang pertama terbit tahun 1851, berjudul League of the Ho de no Sau nie or Iroquois. Karangan-karangannya tentang orang Iroquois terutama berpusat pada soal-soal susunan kemasyarakatan dan sistem kekerabatan, dan dalam hal ini Lewis H. Morgan telah memberikan sumbangan yang besar kepada ilmu antropologi pada umumnya. Dalam memperhatikan sistem kekerabatan Morgan mendapatkan suatu cara untuk mengupas semua sitem kekerabatan dari semua suku bangsa di dunia yang jumlahnya beribu-ribu itu, yang masing-masing berbeda bentuknya.
Mula-mula Morgan tertarik akan suatu gejala bahwa istilah-istilah kekerabatan (istilah untuk menyebut kaum kerabat) dalam bahasa-bahasa Iroquois itu tidak sama isinya dengan istilah-istilah kekerabatan dalam bahasa Inggris. Istilah hänih dalam bahasa Seneca misalnya (salah satu logat Iroquois) lain isinya dengan istilah father dalam bahasa Inggris. Hänih menunjukkan banyak individu yaitu ayah, semua saudara pria ayah dan semua saudara pria ibu. Sebaliknya father hanya menunjukkan seorang individu saja, yaitu ayah. Morgan mengerti bahwa di belakang perbedaan sistem kekerabatan dalam bahasa juga terletak perbedaan dari sistem kekerabatan hak-hak dan kewajiban. Dalam bahasa Iroquois hanya disebut dengan satu istilah yang sama karena sikap, hak-hak dan kewajiban terhadap ayah dan saudara ayah itu sama. Tetapi berbeda dengan bahasa Inggris ayah dan saudara ayah berbeda hak-hak dan kewajibannya.
5)      Teori Evolusi Religi E. B. Tylor
Edward B. Tylor (1832-1917) adalah orang Inggris yang mula-mula mendapatkan pendidikan dalam kesusasteraan dan peradaban Yunani dan Rum Klasik, dan kemudian tertarik akan ilmu arkeologi. Pada tahun 1856 beliau turut mengikuti exspedisi Inggris untuk menggali benda-benda arkeologi di Mexico. Dan dapat menghasilkan buku sendiri mengenai kebudayaan Mexico kuno berjudul “Anahuac, or Mexico and the Mexicans, Acient and Modern” (1861), buku ini merupakan hasil karya Tylor yang pertama. Buku tersebut merupakan sumbangannya terhadap perkembangan antropologi. Dari karangan buku yang berjudul “Researches into the Early History of Mankind”(1871) yang tebalnya dua jilid, tampak pendiriannya sebagai penganut cara berpikir Evolusionisme. Seorang ahli antropologi bertujuan mempelajari sebanyak mungkin kebudayaan yang beraneka-ragam di dunia, mencari unsur-unsur persamaan dalam kebudayaan-kebudayaan tersebut dan kemudian mengklaskannya berdasarkan unsur-unsur pesamaan tersebut sedemikian rupa, sehingga tampak sejarah evolusi kebudayaan manusia dari tingkat satu ketingkat yang lain. Dalam penelitiannya mengambil unsur-unsur budaya seperti sistem religi, kepercayaan, kesusasteraan, adat-istiadat, upacara dan kesenian. Penelitiannya menghasilkan karya “Primitive Culture: Researches into the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Language, Art and Custom” (1874). Dalam buku tersebut mengajukan teori tentang asal-mula religi adalah kesadaran manusia akan adanya jiwa. Kesadaran akan faham jiwa disebabkan karena dua hal :
1.      Perbedaan yang tampak pada manusia antara hal-hal yang hidup dan yang mati.
2.      Peristiwa mimpi manusia melihat dirinya ditempat-tempat lain. Bagian lain itulah yang disebut jiwa.
Pada waktu hidup jiwa masih tersangkut pada tubuh jasmani dan hanya dapat meninggalkan tubuh manusia waktu tidur atau pingsan. Karena pada saat-saat serupa kekuatan hidup pergi melayang, maka tubuh dalam keadaan lemah tetapi masih ada hubungan jiwa dengan jasmani pada saat tidur atau pingsan. Alam semesta penuh dengan jiwa-jiwa merdeka (jiwa yang telah terlepas dan tidak ada hubungan dengan jasmani) Tylor tidak menyebut soul atau jiwa tetapi disebut spirit (makhluk halus atau roh). Dengan demikian pikiran manusia telah mentransformasikan kesadarannya akan adanya jiwa menjadi keyakinan kepada makhluk-makhluk halus.
Diantara beratus-ratus karangan Tylor, menjadi pangkal dari suatu metode penelitian baru yang kurang lebih empat puluh tahun kemudian berkembang dalam ilmu antropologi, yaitu karangannya On a Method of Investigating the Development of Institutions; Applied to the Laws of Marriage and Descent (1889). Dalam karangan tersebuttt   diantara lain menunjukkan dengan bukti angka-angka statistik bagaimana tingkat matriarchate berevolusi ke tingkat patriarchate (suatu pendirian yang berasal dari J.J Bachofen). Beliau mengambil tiga ratus masyarakat yang tersebar di berbagai tempat di dunia dan khusus memperhatikan adat istiadat yang bersangkutan dengan perkawinan. Mengenai adat couvade misalnya beliau mendapatkan bahwa adat tersebut tidak pernah berdampingan dengan sistem matriarchate, sedangkan ada delapan masyarakat dimana couvade berdampingan dengan patriarchate. Adat couvade dimaksudkan untuk memperkuat hubungan antara ayah dengan anak di dalam masa perubahan dari tingkat matriarchate ke tingkat patriarchate.
6)      Teori J. R. Frazer Mengenai Ilmu Gaib dan Religi
J. G. Frazer (1854 – 1941) adalah ahli folklor Inggris yang sangat banyak menggunakan bahan etnografi dalam karya-karyanya dan karena itu kita anggap juga sebagai salah seorang tokoh pendekar ilmu antropologi. Karyanya mengenai asal mula dan perkembangan ilmu gaib dan religi yang juga dibayangkan olehnya sebagai suatu proses yang melalui tingkat-tingkat evolusi yang seragam bagi semua bangsa di dunia. Di antara karangan-karangannya mengenai folklor yang terbilang banyaknya itu ada dua buah yang terpenting mengandung uraian tentang asal mula dan evolusi ilmu gaib dan religi, yaitu Totemism and Exogamy (1910) yang terdiri dari empat jilid, dan karya raksasanya berjudul The Golden Bough (1911 - 1913) yang sebenarnya mengandung uraian dari teori Frazer telah diterbitkan dalam bentuk paperback setebal 864 halaman tahun 1960 yang tebalnya dua jilid oleh penerbit MacMillan Company. Teori Frazer mengenai asal mula ilmu gaib dan religi yaitu manusia memecahkan soal-soal hidupnya dengan akal dan sistem pengetahuannya, tetapi akal dan sistem pengetahuan itu ada batasnya. Makin terbelakang kebudayaan manusia, makin sempit lingkaran batas akalnya. Soal-soal hidup yang tak dapat dipecahkan dengan akal dipecahkannya dengan magic. Menurut Frazer magic adalah semua tindakan manusia (atau abstensi dari tindakan) untuk mencapai suatu maksud melalui kekuatan-kekuatan yang ada di alam, serta seluruh komplek anggapan yang ada di belakangnya. Manusia mula-mula hanya mempergunakan ilmu gaib untuk memecahkan soal-soal hidupnya yang ada di luar batas kemampuan dan pengetahuan akalnya. Pada waktu itu religi belum ada dalam kebudayaan manusia. Lambat laun terbukti bahwa banyak dari tindakan magic tadi tidak ada hasilnya. Maka mulailah Frazer yakin bahwa alam di diami oleh makhluk-makhluk halus yang lebih berkuasa dari padanya, lalu mulailah beliau mencari hubungan dengan makhluk-makhluk halus tersebut, dengan demikian timbullah religi. Religi adalah segala sistem tingkah laku dan sikap manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyandarkan diri kepada kemauan dan kekuasaan makhluk-makhluk halus seperti roh-roh, dewa-dewa dan sebagainya yang menempati alam. Ilmu gaib adalah segala sistem tingkah laku dan sikap manusia untuk mencapai suatu maksud dengan menguasai dan mempergunakan kekuatan-kekuatan dan kaidah-kaidah gaib yang ada di dalam alam. frazer membuat suatu klasifikasi dari segala macam tindakan ilmu gaib ke dalam beberapa tipe ilmu gaib dalam bukunya The Golden Bough.
7)      Menghilangnya Teori-teori Kebudayaan
Pada akhir abad ke 19 mulai timbul kecaman-kecaman terhadap cara berfikir dan cara bekerja para sarjana penganut evolusi kebudayaan. Pengumpulan bahan keterangan baru terutama sebagai hasil penggalian-penggalian prehistori, bertambah banyak berkat aktifitas-aktifitas penelitian para ahli antropologi sendiri. Tingkat-tingkat evolusi dari para penganut teori-teori evolusi kebudayaan hanya merupakan konstruksi-konstruksi pikiran saja, yang tidak sesuai dengan kenyataan dan yang lama kelamaan tak dapat dipertahankan lagi. Pada permulaan abad ke 20 hampir tidak ada lagi karya antropologi yang berdasarkan konsep evolusi. Hanya kira-kira sekitar 1930 tampak adanya penelitian-penelitian antropologi yang berdasarkan konsep-konsep di Uni Soviet. Dalam tahun 1940-an muncul beberapa ahli antropologi Inggris dan Amerika yang menghidupkan lagi konsep-konsep mengenai evolusi kebudayaan, tetapi tidak bersifat seragam bagi semua bangsa di dunia.
b.      Kelompok L’Année Sociologique
1)      Majalah L’Année Sociologique
Ketika teori-teori tentang evolusi kebudayaan di Inggris, Jerman dan Amerika Serikat mulai kehilangan pengaruhnya di Perancis khususnya di Paris mulai tahun 1898 terbit suatu majalah mengenai ilmu sosiologi berjudul L’Année Sociologique yang diasuh oleh suatu ahli-ahli peneliti masyarakat di bawah pimpinan ahli sosiologi Emile Durkheim. Anggota-anggota lain yang tergabung dalam kelompok studi tersebut adalah M. Mauss, H. Beuchat, M. David, A. Bianconni, R. Hertz, Lucien Lévy-Bruhl dan lain-lain yang hampir semua menyebut dirinya ahli sosiologi atau ahli filsafat.
          Pada akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 di universitas-universitas di Perancis pun tidak ada antropologi, sedangkan ilmu sosiologi mula-mulanya memang timbul di Perancis akibat usaha ahli filsafat A. Comte. Para ahli sosiologi sesudah A. Comte mula-mula memang memusatkan perhatian mereka pada masalah-masalah social dalam masyarakat Perancis pada khususnya dan masyarakat Eropa pada umumnya, tetapi kemudian beberapa di antara mereka ada yang mulai menggunakan data dan fakta-fakta mengenai masalah-masalah sosial dari tempat-tempat lain di dunia, terutama dari daerah-daerah jajahan Perancis di Afrika, di Asia Tenggara dan di Oseania. Dengan demikian mereka tidak banyak berbeda dari ahli etnologi atau antropologi dan untuk membedakan diri dari ilmu sosiologi yang mempelajari soal-soal masyarakat perkotaan di Eropa, mereka menyebut diri ahli sosiologi etnografik. Emile Durkheim pemimpin kelompok studi  L’Année Sociologique adalah ahli sosiologi dalam arti pertama maupun ahli sosiologi etnografik.
2)      Emile Durkheim
Emile Durkheim (1858 – 1917) lahir pada tahun 1858 di kota kecil Lorraine sebagai putra suatu keluarga Yahudi Perancis. Emile Durkheim belajar filsafat di Jerman dan tertarik akan karya-karya ahli-ahli filsafat seperti A. Comte, F. de Coulanges dan C. H. Saint Simon. Pada tahun 1887 beliau menjadi dosen ilmu sosiologi di Universitas Bordeaux dan dalam periode tersebut ia menuliskan ketiga karyanya yang pertama dan sangat penting mengenai masalah unsur-unsur elementer dan azas-azas masyarakat. Bukunya yang pertama adalah mengenai masalah pembagian kerja dalam masyarakat dan berjudul De la Division du Travail Social (1893). Karya pentingnya yang kedua adalah mengenai masalah aturan-aturan mengenai metode sosiologi yang berjudul Les Règles de la Méthode Sociologique (1895). Sedangkan karya yang ketiga mengenai gejala bunuh diri sebuah studi sosiologi yang berjudul Le Suicide; Etude de sosiologie. Sejak tahun 1898 Emile Durkheim menerbitkan majalah L’Année Sociologique bersama kelompok studi yang di binanya.
Konsep Fakta Sosial landasan dari seluruh cara berfikir Durkheim mengenai masyarakat adalah pandangannya mengenai suatu masyarakat yang hidup. Di situ ada manusia-manusia yang berfikir dan bertingkah laku dalam hubungan satu dengan lain. Manusia-manusianya disebut individu, sedangkan pikiran-pikiran yang mereka keluarkan dan tingkah laku mereka disebut gejala atau fakta individual. Dalam bertingkah laku manusia dihadapkan pada gejala-gejala atau fakta-fakta sosial yang seolah-olah sudah ada di luar diri para individu yang menjadi masyarakat tadi. Fakta-fakta sosial itu merupakan entitas yang berdiri sendiri, lepas dari fakta-fakta individu. Fakta-fakta sosial mempunyai kekuatan memaksa individu untuk berpikir menurut garis-garis dan bertindak menurut cara-cara tertentu. Pandangan Durkheim mengenai masyarakat, fakta-fakta sosial dan individu warga masyarakat yang menyesuaikan pikiran dan tingkah laku mereka dengan fakta-fakta sosial. Dalam buku keduanya Les Règles de la Méthode Sociologique buku pelajaran mengenai metodologi yang harus dipakai oleh seorang ahli sosiologi yang mempelajari dan menganalisa gejala-gejala sosial. Fakta-fakta sosial harus dipelajari secara objektif dengan memandangnya sebagai benda. Durkheim bermaksud menekankan bahwa seorang ahli sosiologi harus berusaha untuk menganggap gejala-gejala sosial itu sebagai kejadian-kejadian yang kongkret, dengan suatu lokasi tempat yang nyata dan dalam suatu jangka waktu tertentu. Dengan menggunakan metodologi mengobservasi, mengumpulkan fakta, menganalisa, mengklasifikasi, menginterpretasi fakta-fakta sosial, seorang ahli sosiologi harus meniru model yang diberikan para ahli fisika, kimia atau fisiologi dan meninggalkan metodologi spekulasi dan interpretasi fakta-fakta sosial dalam alam abstrak seperti yang dilakukan oleh para ahli filsafat. Pandanganya mengenai fakta-fakta sosial sebagai hal-hal yang mempunyai entitas sendiri memang sangat penting walaupun konsepnya mengenai fakta sosial masih belum seksama. Durkheim seringkali menyamakan fakta sosial dengan gejala sosial. Didalam bukunya mengenai metodologi sosiologi ia mengatakan bahwa fakta sosial adalah pranata sosial atau institution. Dalam ilmu sosiologi dan antropologi masa kini kansep yang diberi istilah-istilah khusus seperti gejala sosial, fakta sosial, manifestasi sosial, pranata sosial, dan norma serta nilai sosial tersebut memang telah dibedakan secara detail.
Konsep Gagasan Kolektif atau réprésentations collectives. dalam sebuah karangan khusus berjudul Réprésentations Individuelles at Réprésentations Collectives (1898) Durkheim menerangkan bahwa dalam alam pikiran individu warga masyarakat biasanya terjadi gagasan-gagasan dari proses-proses psikologi dalam organisme dari seorang individu, yang berupa penangkapan pengalaman, rasa, sensasi dan yang terjadi dalam organisme fisik, khususnya pada bagian syaraf, sungsum dan otak. Semua bayangan, cita-cita dan gagasan yang telah terbentuk dalam akal pikirannya disebut representations. Réprésentations Individuelles adalah gagasan-gagasan milik seorang individu yang berbeda dari gagasan milik seorang individu lain. Dengan naik satu tingkat abstaraksi ke atas dari gagasan konsep individu, Durkheim tiba pada gagasan kolektif. Karena dalam suatu masyarakat ada banyak manusia hidup bersama, maka gagasan-gagasan dari sebagian besar masyarakat tergabung menjadi komplek-komplek gagasan yang lebih tinggi yaitu gagasan kolektif. Gagasan kolektif oleh Durkheim dianggap berada di luar diri para individu. Karena sudah tercetuskan mendapat formasi dikembangkan dan dimantapkan maka gagasan kolektif biasanya terumuskan dan tersimpan dalam bahasa dari masyarakat yang bersangkutan dan dengan demikian dilanjutkan kepada generasi berikutnya. Gagasan kolektif juga dianggap berada di atas para individu karena mempunyai kekuatan untuk mengatur perilaku dan menjadi pedoman bagi kehidupan warga masyarakat.
Teori Emile Durkheim Tentang Azas Religi dalam karyanya yang berjudul Les Formes Elémentaires de la Vie Réligieuse (1912) yang berusaha menganalisa azas-azas dari religi dimana ia mempergunakan bahan keterangan etnografi dari masyarakat dan kebudayaan bangsa-bangsa di luar Eropa yaitu masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa penduduk pribumi Australia. Dalam buku tersebut Durkheim melakukan tiga hal yaitu : (1) menganalisa religi yang dikenal sebagai wujud religi dalam masyarakat yang paling bersahaja dengan maksud menentukan unsur-unsur dan gagasan-gagasan elementer dari kehidupan keagamaan, (2) meneliti sumber-sumber azasi dari unsur-unsur dalam religi yang bersahaja dan (3) membuat generalisasi ke religi-religi lain mengenai fungsi azasi dari religi dalam masyarakat manusia. Alasan Durkheim memilih suatu sistem religi dalam masyarakat bersahaja adalah bahwa dengan demikian ia dapat lebih mudah meneliti unsur-unsur elementer dan konsep-konsep azasi dari religi itu tanpa terganggu oleh konsep-konsep, mite-mite, dan keyakinan-keyakinan komplek yang kemudian ditambahkan kepada konsep-konsep azasi oleh para pemuka agama, ulama atau penganut-penganut lain dalam religi yang bersangkutan. Durkheim kemudian meninjau berbagai macam teori yang ada tentang asal mula religi. Pertama-tama membahas teori E.B. Tylor tentang animisme, seandainya memang benar bahwa agama timbul karena pada suatu saat tertentu ada makhluk-makhluk manusia salah menginterpretasikan mimpi, seperti apa yang dikatakan oleh Tylor, maka sudah tentu religi itu sebagai ilusi sejak lama telah hilang dari masyarakat manusia. Dan karena itu ada suatu sistem religi lebih azasi dan karena itu lebih tua dari pada animisme dan sistem religi yaitu toteisme. Dalam kesimpulannya pada akhir karangannya, Durkheim menyatakan bahwa dalam semua sistem religi di dunia ada suatu hal yang ada di luarnya, suatu hal in foro externo (1937 : 606) dalam arti bahwa hal itu tetap akan ada dalam sistem religi, lepas dari wujud, isi, atau materinya yaitu kebutuhan asazi dalam tiap masyarakat manusia yang mengikuti sistem religi untuk mengintensifkan kembali kesadaran kolektifnya dengan upacara-upacara keramat. Kebutuhan ini menurut Durkheim akan tetap ada, juga dalam ilmu pengetahuan telah menggantikan kosmologi dan kosmologi agama dalam menerangkan azas-azas kekuatan alam dan juga ajaran agama telah menyesuaikan diri dengan kemajuan ilmu pengetahuan serta otonomi moral individual yang makin lama makin meluas.
Studi Durkheim Mengenai Klasifikasi Primitif karya essay Durkheim sebagai ahli sosiologi etnografi dengan muridnya M. Mauss berjudul De Quelque Formes Primitives de Classification, Contribution a l’Étude des Réprésentations Collèctives (1903). Karangan tersebut membahas masalah gagasan kolektif tetapi dari sudut terapannya dengan mempergunakan data dan bahan keterangan yang justru tidak dari masyarakat Eropa melainkan dari masyarakat suku bangsa Tatathi, suku bangsa Wakelbura di Australia Tengah, penduduk pribumi Queensland di Australia Utara, suku bangsa Wotjobaluk di New South Wales di Australia Tenggara, suku bangsa Kiwai dan Bamuiang di pantai Selat Torres (Papua Nugini Selatan), suku bangsa Chingalee di pantai Teluk Carpentaria (Australia Utara), suku bangsa Arunta di sebelah selatannya, suku bangsa Mooravia di daerah Sungai Culgua di Australia Barat, suku bangsa Indian Zuni di daerah kebudayaan Amerika Barat Daya (negara bagian Colorado), suku bangsa Indian Sioux di daerah kebudayaan Plains (negara bagian Ohio) dan kebudayaan Cina Klasik. Karangan tersebut mempersoalkan cara-cara serta prosedur-prosedur manusia menggolong-golongkan segala hal, kejadian serta benda dalam lingkungannya ke dalam kategori-kategori tertentu serta logika yang ada di belakangnya. Durkheim dan M. Mauss mengembangkan hipotesis bahwa cara berfikir manusia-manusia tradisional atau dengan sebutan manusia primitive.
3)      Marcel Mauss
Marcel Mauss (1872 – 1950) lahir di sebuah kota kecil Lorraine di Perancis dari keluarga Yahudi. Mauss adalah salah seorang di antara para sarjana kelompok studi l’Année Sociologique yang tidak gugur atau meninggal selama Perang Dunia I diantara tahun 1914 dan 1918. Dalam tahun 1925 ia mengumpulkan kembali kelompok studi l’Année Sociologique seperti dalam zaman Durkheim dan nomor pertama yang terbit sebagai suatu seri baru (Nouvelle Série) dalam tahun tersebut mengandung karangan mengenai fungsi dari pranata tukar-menukar hadiah dalam bentuk masyarakat berjudul Essai sur le Don (1925) artinya essai mengenai hadiah. Terjemahannya ke dalam bahasa Inggris The Gift pada tahu 1954 membuatnya terkenal dalam ilmu antropologi masa kini. Pecahnya Perang Dunia II dalam tahun 1940 menyebabkan bahwa untuk kedua kalinya ia mengalami bubarnya kelompok studi l’Année Sociologique Keadaan tersebut membuatnya putus asa dan sampai meninggal pada tahun 1950 ia tidak menghasilkan karya baru lagi.
Konsep Mauss Mengenai Intensifikasi Integrasi Sosial dalam karangan tersebut yang ditulisnya bersama mahasiswanya H. Beuchat mengenai Variations Saisonnières des Sociétés Eskimos ia mengembangkan suatu konsep struktural fungsional yang penting mengenai integrasi sosial masyarakat manusia. Karangan Mauss dan Beuchat mulai dengan suatu uraian geografi ekologikal mengenai lingkungan alam kutub dari daerah pemukiman Eskimo. Konsep yang dulunya didefinisikan oleh Durkheim adalah konsep morfologi sosial, Mauss dan Beuchat telah menggambarkan dua morfologi sosial dari masyarakat Eskimo yaitu morfologi sosial musim panas dan morfologi sosial musim dingin. Deskripsi Mauss dan Beuchat mengenai dua morfologi sosial masyarakat Eskimo ditulis secara sangat terampil dari bahan karangan yang termuat secara tercecer dalam lebih dari dua buah etnografi yang berasal dari berbagai zaman yang berbeda-beda termasuk bahan keterangan dari ilmu arkeologi. Kasus kehidupan Eskimo menurut Mauss dan Beuchat juga dapat memberi pelajaran kepada kita bahwa solidaritas sosial dari suatu masyarakat tersebut dapat mengendor dan menjadi intensif lagi menurut musim sehingga perlu ada usaha-usaha khusus untuk berulang-ulang mengintensifkan kembali solidaritas sosial tersebut. Salah satunya kekuatan penting untuk mengintensifkan kembali solidaritas sosial adalah sentimen keagamaan yang diintensifkan kembali oleh upacara keagamaan. Menurut Mauss dan Beuchat bahwa studi mereka merupakan suatu studi kasus secara mendalam yang bisa memberi pengertian yang lebih utuh mengenai azas-azas kehidupan masyarakat, agar dapat dikembangkan kaidah-kaidah sosial yang lebih mantap dalam sosiologi.    
4)      Lucien Lévy-Bruhl
Lucien Lévy-Bruhl (1857 – 1945) ia menjadi terkenal dalam karangan ilmu antropologi pada permulaan abad ke 20 karena karya-karyanya mengenai masalah mentalitas primitif.
Konsep Mentalitas Primitif Lévy-Bruhl mulai tertarik akan masalah itu karena mula-mula membahas teori Tylor tentang asal muasal religi. Tylor pernah mengembangkan teori bahwa religi manusia timbul karena manusia purba pada waktu ketika menemukan adanya jiwa sebagai kesimpulan terhadap gambaran diri yang dibayangkan dalam mimpi. Lévy-Bruhl tidak setuju dengan teori itu karena  menganggap bahwa mentalitas manusia purba tak mungkin dapat berfikir secara abstrak seperti itu, untuk membahas dan mengecam teori Tylor ia mulai mempelajari banyak bahan etnografi  terutama yang termuat dalam jilid-jilid majalah l’Année Sociologique. Sesudah belajar ia siap melangkahkan kritiknya yang menjadi buku tebal dengan judul Les Fonctions Mentales dans les Sociétes Inférieurs (1910). Buku tersebut mulai dengan kritik yang luas terhadap teori Tylor, kemudian menjadi positif dengan mengajukan anggapan bahwa dalam alam pikiran manusia ada proses-proses jiwa yang sangat berbeda dengan  proses-proses jiwa dalam alam pemikirannya, apabila ia berpikir logika ilmu pengetahuan yang positif. Proses-proses jiwa yang berbeda tersebut disebut mentalité primitive atau cara berfikir primitive karena cara itu terutama ada dalam masyarakat yang primitif. Beda antara cara berfikir primitif dan cara berfikir menurut logika ilmiah terletak dalam tiga unsur yaitu :
a)      Loi de participation atau kaidah partisipasi yaitu terlihat dalam proses-proses rohani yang menghubungkan hal-hal yang tampak pada lahirnya sama, hal-hal yang bunyi sebutannya sama, hal-hal yang berdekatan tempat, hal-hal yang berdekatan waktunya, dan hal-hal berikut pada hal-hal lain itu masing-masing dalam hubungan sebab-akibat dan seringkali menyamakannya. Contoh : suku bangsa Bororo si individu merelakan diri satu pribadi dengan binatang totemnya yaitu burung kakak tua merah.
b)      Unsur mystique yang biasanya diartikan dalam ilmu teologi. Lévy-Bruhl memakainya untuk melukiskan suatu sifat dari alam pikiran primitif yaitu sifat yang menganggap seluruh alam diliputi oleh suatu kekuatan gaib tertentu yang rupa-rupanya berada di dalam segala hal. Kekuatan itu dianggap berada di luar kemampuan alam pikiran manusia tetapi dapat menyebabkan kebahagiaan maupun malapetaka.
c)      Unsur prélogique Lévy-Bruhl mencoba menerangkan suatu sifat dari alam pikiran primitif yang memungkinkan untuk menganggap sesuatu hal tersebut ada dan juga tidak ada pada suatu tempat dan saat. Anggapan bahwa Tuhan dapat berada pada suatu tempat tertentu pula, tetapi dapat juga berada pada tempat lain pada saat itu juga.
Alam pikiran primitif memang paling nyata dalam kehidupan bangsa-bangsa yang masih sangat kurang sekali terpengaruh oleh kebudayaan bangsa-bangsa modern, karena pada bangsa-bangsa tersebut unsur-unsur kebudayaan seperti upacara keagamaan, ilmu gaib, adat pantangan dan mitologi menguasai kehidupan hampir seluruh lapangan hidup. Ini tidak berarti bahwa manusia yang menjadi pemangku kebudayaan serupa itu tidak dapat berfikir logika, tetapi sebaliknya hal itu juga tidak berarti bahwa manusia modern tidak pernah berfikir menurut cara-cara mentalité primitive. Maka walaupun alam pikiran primitif itu memang lebih sering menguasai kehidupan manusia terbelakang, tetapi sebenarnya alam pikiran primitif itu ada dalam pikiran semua manusia di dunia. Setelah anggapan Lévy-Bruhl diumumkan kepada dunia ilmiah timbullah serangan-serangan dari tokoh-tokoh antropologi seperti W. H. R. Rivers, W. Schmidt, P. Radin A. A. Goldenweiser dan lainnya, ada pula sarjana-sarjana dari ilmu-ilmu lainnya. Dua orang sarjana Indonesia yang pernah juga melakukan kritikan terhadap teori Lévy-Bruhl yaitu T. S. G. Moelia dan P. J. Zoetmulder. Hampir semua kritik terutama dari kalangan ilmu antropologi menyalahkan Lévy-Bruhl dengan menyatakan bahwa ia telah menarik suatu garis yang terlalu keras antara bangsa-bangsa primitif dan bangsa-bangsa modern seolah-olah garis itu memisahkan dua kategori manusia yang masing-masing mempunyai susunan pikiran yang sama sekali berbeda. Lévy-Bruhl menyerah begitu saja, dan serangan-serangan yang hebat malah memberi dorongan kepadanya untuk tetap mempertahankan dan mempertajam anggapannya dalam kurang lebih lima belas karangan yang ditulisnya antara tahun 1910 dan 1938. Akhirnya ia menyerah dan menarik kembali seluruh teorinya tetapi hal tersebut baru diumumkan setelah ia meninggal.    
c.       Teori-teori Fungsional dan Struktural
1.      Fungsionalisme Malinowski
Teori-teori fungsional dalam ilmu antropologi dikembangkan oleh seorang tokoh teori antropologi yaitu Bronislaw Malinowski (1884 – 1842). Bronislaw Malinowski mulai tertarik akan penggunaan praktis dari ilmu antropologi dalam meneliti dan mengatur proses perubahan kebudayaan tradisional bangsa-bangsa Afrika, Asia dan Oseania akibat pengaruh kebudayaan Eropa dan mencurahkan perhatian penuh terhadap antropologi terapan dalam administrasi kolonial yang disebut practical anthropology serta masalah-masalah sangkut pautnya dengan perubahan kebudayaan atau culture change. Bronislaw Malinowski mulai mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk menganalisa fungsi dari kebudayaan manusia yang disebutnya teori fungsional tentang kebudayaan atau a fungctional theory of culture.
Etnografi Berintegrasi Secara Fungsional karangan etnografi pertama hasil penelitian lapangan di Kepulauan Trobriand di sebelah tenggara Papua Nugini berjudul Argonauts of the Western Pacific (1922). Pokok lukisannya adalah suatu sistem perdagangan antara penduduk kepulauan Trobriand atau Boyowa kepulauan Amphlett, kepulauan D’entrecasteaux atau Dobu, pulau St. Aignau atau Misima, kepulauan Laughlan atau Nada dan kepulauan Woodlark atau Murua. Dengan hanya perahu-perahu kecil yang bercadik dan dengan awak kapal yang berjumlah sepuluh hingga lima belas orang penduduk Trobriand dan penduduk kepulauan lain berani menyeberangi laut terbuka untuk berlayar dari pulau ke pulau sampai berates-ratus mil jauhnya. Benda-benda yang diperdagangkan dengan cara tukar-menukar (barter) berupa berbagai macam makanan, barang kerajinan, alat-alat perikanan, perkebunan, dan alat rumah tangga. Di samping itu tiap transaksi diadakan tukar menukar  dua macam benda perhiasan yaitu kalung-kalung kerang (sulava) dan gelang-gelang kerang (mwali) sistem perdagangan tersebut disebut sistem kula. Bronislaw Malinowski membedakan antara fungsi social dalam tiga tingkat abstarksi (Kaberry 1957 : 82) :
a)      Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abtraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya terhadap adat, tingkah laku manusia dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat.
b)      Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abtraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan suatu adat atau pranata lain untuk mencapai maksudnya seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang bersangkutan
c)      Fungsi sosial dari suatu adat atau pranata sosial pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial yang tertentu.
Teori Fungsional Tentang Kebudayaan Malinowski mengembangkan teori tentang fungsi unsur-unsur kebudayaan yang sangat komplek. Tetapi inti dari teori tersebut adalah pendirian bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya.
Malinowski Tentang Perubahan Kebudayaan bahwa Malinowski tidak memperhatikan proses-proses perkembangan kebudayaan dalam pemikiran-pemikirannya. Dengan melukiskan suatu masyarakat dengan mengintegrasikan seluruh aspeknya menjadi satu, seolah-olah ia mengambil gambaran dari masyarakat tersebut pada saat itu saja, sehingga gambaran tersebut merupakan suatu pembekuan dari kehidupan masyarakat pada satu detik dalam ruang waktu. Kecaman tersebut diperhatikan oleh Malinowski dan pada akhir hidupnya ia berhasil menulis sebuah buku yang terbit anumerta berjudul The Dynamics of Culture Change, An Inquiry into Race Relation in Africa (1945). Dalam buku tersebut ia mengajukan suatu metode untuk mencatat dan menganalisa sejarah dan proses-proses perubahan kebudayaan dalam suatu masyarakat yang hidup.
2.      Strukturalisme Radcliffe-Brown
Teori-teori struktural dalam ilmu antropologi ada beberapa macam, tetapi konsepnya untuk pertama kali diajukan oleh A. R. Radcliffe-Brown (1881 – 1955).
Etnografi Berintegrasi Secara Fungsional etnografi Radcliffe-Brown mengenai kebudayaan penduduk kepulauan Andaman berjudul The Andaman Islanders (1922) sangat miskin. Buku tersebut hanya mengandung deskripsi mengenai organisasi sosial secara umum tidak mendetail dan banyak memuat mengenai upacara keagamaan, keyakinan keagamaan dan mitologi. Cara ia melukiskan upacara keagamaan dan mitologi orang Andaman memang merupakan metode deskripsi yang pasti akan memuaskan Durkheim dan kawan-kawannya. Dalam kata pengantarnya Radcliffe-Brown memang menyatakan dengan jelas bahwa ia menerapkan konsepsi para ahli sosiologi Perancis yaitu H. Hubert.
3.      Teori Fungsional Struktural Arthur Maurice Hocart
Seorang sarjana Inggris Arthur Maurice Hocart (1883 – 1939) ia menerbitkan banyak buku antara lain The Progress of Man and Kings and Councellors (1936).
Hipotesa Mengenai Fungsi Upacara dan Raja Hocart menulis sebuah buku yang sangat unik yaitu yang berjudul The Progress of Man and Kings and Councellors (1936) yaitu mengenai fungsi upacara dan raja dalam masyarakat manusia. Dengan menggunakan bahan etnografi dari empat puluh delapan suku bangsa dan peradaban (termasuk peradaban China, Inggris dan Yunani Kuno) dari delapan kawasan di duni, serta bahan sejarah dan arkeologi. Ia mengembangkan hipotesa mengenai terjadinya organisasi pemerintah yang disebut negara dalam masyarakat manusia serta hipotesa mengenai fungsi dari upacara serta tindakan-tindakan simbolik di dalamnya.

3.      Implikasi Kebudayaan dan Implikasi dalam Pendidikan
Ada tiga pandangan tentang kebudayaan, yaitu pandangan superorganis, pandangan kaum konseptualis, dan pandangan realis. Menurut pandangan superorganis, kebudayaan adalah realitas super dan ada di atas dan diluar pendukung individualnya dan kebudayaan punya hukum-hukumnya sendiri. Dalam pandangan konseptualis, kebudayaan bukanlah suatu entitas sama sekali, tetapi sebuah konsep yang digunakan antropolog untuk menghimpun serangkaian fakta-fakta yang terpisah-pisah. Dalam pandangan para realis, kebudayaan adalah kedua-duanya, yaitu sebuah konsep dan sebuah entitas empiris. Kebudayaan adalah sebuah konsep sebab ia bangunan dasar dari ilmu antropologi. Kebudayaan merupakan entitas empiris sebab konsep ini menunjukkan cara sebenarnya fenomena-fenomena tertentu diorganisasikan.



a)      Pandangan Superorganis Tentang Kebudayaan dan Pendidikan
Inti pandangan superorganis adalah bahwa kebudayaan merupakan sebuah kenyataan sui generis, karena itu dijelaskan dengan hukum-hukumnya sendiri. Meskipun adalah benar bahwa faktor-faktor tertentu teknologi dan ekonomi. Kebudayaan tidak mungkin diterangkan dengan menggunakan sumbernya sebagaimana sebuah molekul dimengerti hanya dengan jumlah atom-atomnya, sumber-sumber bisa menjelaskan bagaimana kebudayaan muncul, tetapi bukan kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan dengan ringkas lebih dari pada hasil kekuatan-kekuatan sosial atau ekonomi, kebudayaan merupakan realitas yang menyebabkannya mungkin ada. Menurut Emile Durkheim, “kebudayaan terdiri dari fakta-fakta sosial dan representasi kolektif yaitu cara berpikir, bertindak, dan merasa yang bersifat independen dan berada diluar individu. Cara-cara berperilaku ini membebankan sebuah kekuatan memaksa terhadap individu yaitu dia dihukum, baik secara legal maupun moral bila tidak mematuhinya. Faktor-faktor moral tidak dapat dijelaskan secara psikologis, tetapi hanya dengan menggunakan fakta sosial yang lain. Demikianlah, sebuah gagasan atau sentimen mungkin semua disuarakan oleh seorang tertentu, tetapi ia akan menjadi fakta sosial hanya melalui percampuran dengan gagasan-gagasan dan perasaan-perasaan orang lain.
Menurut Durkheim, kebudayaan yang dipahami sebagai totalitas fakta-fakta sosial bersifat immanen dan transenden. Pada satu pihak kebudayaan bekerja dalam diri individu, membimbingnya untuk berperilaku menurut cara tertentu, pada pihak lain, kebudayaan ada diluar mereka dalam bentuk representatif kolektif terhadap mana mereka harus menyesuaikan diri. Kebudayaan, katanya adalah sebuah kesadaran kolektif sebuah kesatuan psikis yang memiliki cara berpikir, merasa, dan bertindak berbeda dari cara-cara khusus individu-individu yang membentuknya.” Sebagaimana Hegel, Durkheim percaya bahwa apa yang terbaik pada seseorang datang kepadanya dari kebudayaannya dan hal itu, sebenarnya, adalah kebudayaannya yang bekerja dalam dirinya. Demikianlah seorang memuaskan dirinya sendiri sampai batas ia menjadi terlibat dalam kebudayaannya dan menjadikan aspirasi budaya tersebut menjadi miliknya. Sebaliknya, semakin memusatkan diri seseorang terhadap dirinya sendiri, semakin lebih terbatas kepribadiannya dan semakin cenderung dia untuk bunuh diri. Diantara antropolog di negara yang berbahasa Inggris, pandangan superorganis telah dipertahankan oleh B. Malinowski dan A. L. Kroeber, yang menemukan istilah superorganis, tetapi yang kemudian bergerak lebih dekat pada posisi konseptualis. Sekarang yang menjadi eksponen utamanya adalah L. A. White.
Menurut pandangan superorganis perilaku manusia ditentukan secara budaya. Anggaplah bahwa individu memungkinkan adanya kebudayaan (karena supaya ada, kebudayaan harus punya pendukung) namun itu tidak berarti bahwa individu menjadi sebab perilakunya sendiri seperti halnya pelaku sebuah sandiwara memutuskan apa yang harus mereka pertontonkan. Kebudayaan mengontrol kehidupan anggotanya sebagaimana halnya sebuah sandiwara mengontrol kata-kata dan perbuatan aktor. Individu, kata White adalah pada hakekatnya sebuah organisasi kekuatan-kekuatan kebudayaan dalam elemen-elemen yang menekan dari luar dan yang menemukan expresi nyatanya melalui individu. Dilihat demikian, individu tidak lain dari expressi sebuah tradisi supra biologi dalam bentuk fisik. Orang dapat menguasai aspek-aspek tertentu alam fisik hanya karena dia ada di luarnya, setelah memunculkan semacam kesatuan, yaitu kebudayaan yang tidak lagi seluruhnya tunduk kepada hukum alam. Kebudayaan karena itu tidak bisa dikontrol manusia, karena dia sendiri merupakan bagian dari kebudayaan.
Pandangan superorganis mempunyai implikasi terhadap pendidikan. Yang pertama, adalah bahwa pendidikan ialah sebuah proses melalui mana kebudayaan mengotrol orang dan membentuknya sesuai dengan tujuan kebudayaan. Menurut L. White  pendidikan merupakan alat yang digunakan masyarakat melaksanakan kegiatannya sendiri dalam mengejar tujuannya. Demikianlah, selama masa damai masyarakat di didik untuk damai, tapi bila bangsa sedang berperang masyarakat mendidik anggotanya untuk perang. Bukan masyarakat yang mengontrol kebudayaan melalui pendidikan sebaliknya, pendidikan formal dan informal adalah proses membawa tiap-tiap generasi baru ke bawah pengontrolan sistem budaya. Untuk jelasnya, kebijakan pendidikan ditentukan oleh individu-individu, tetapi individu-individu hanya alat melalui mana kekuatan-kekuatan budaya mencapai tujuannya. Bila para pendidik memilih, kebudayaan memilih melalui mereka Pandangan superorganis juga berimplikasi pada pengawasan pendidikan yang ketat dari pemerintah untuk menjamin bahwa guru-guru menanamkan dalam diri generasi muda gagasan-gagasan, sikap-sikap, dan keterampilan-keterampilan yang perlu bagi kelanjutan kebudayaan.
Kritik terhadap Pandangan Superorganik :
1)      Menurut F. Boas (1940) mengatakan bahwa kebudayaan  tidak bergerak sendiri tetapi merupakan ciptaan individu-individu yang hidup bersama. Kebudayaan bukan sebuah entitas yang mistis.
2)      Pandangan superorganik boleh dikritik karena memisahkan kebudayaan  dari manusia yang membangunnya.
3)      Orang juga bisa berkeberatan bahwa individu pada satu pihak, dan kebudayaan dilihat sebagai superorganik pada pihak lain, tidak bisa dibandingkan dan karena itu, kemudian tidak bisa berinteraksi. Karena dengan cara bagaimanakah secara empiris dapat ditentukan bahwa realitas superorganik masuk ke dalam kehidupan seseorang dan membentuk perilakunya.
4)      Keberatan utama adalah bahwa walaupun kebudayaan menentukan banyak dari bentuk dan isi dari perilaku individu, kebudayaan tidak menentukan perilaku secara keseluruhan.
5)      Tidak dapat disangsikan, bahwa kebudayaan adalah superorganis dalam arti bahwa kebudayaan berumur panjang dan sebagian besar bertanggung jawab dalam membentuk perilaku manusia. Tetapi kebudayaan bukan sebuah  satuan yang independen, punya sebab sendiri  dan punya arah sendiri.
b)     Pandangan Konseptualis Tentang Kebudayaan dan Pendidikan
Umumnya antropolog Amerika menganut apa yang dinamakan pandangan konseptualis tentang kebudayaan. Mereka mengatakan bahwa kebudayaan adalah konsep atau konstruk seorang antropolog. Apa yang diamati orang tidak pernah kebudayaan seperti itu saja, tetapi banyak bentuk-bentuk perilaku yang dipelajari dan dipakai bersama dengan benda-benda hasil produksi mereka. Dari sini pikiran tentang kebudayaan diabstraksikan. Menurut kaum konseptualis pada akhirnya semua kebudayaan mesti diterangkan secara sosial psikologis. Dalam kata-kata R. Linton bahwa kebudayaan ada hanya dalam fikiran individu-individu yang membentuk suatu masyarakat. Kebudayaan mendapatkan semua kualitasnya dari kepribadian-kepribadian mereka dan interaksi dari kepribadian-kepribadian itu. Bukan kebudayaan yang menyebabkan proses budaya terjadi tetapi orang-orang dipengaruhi oleh apa yang dikerjakan orang-orang dimasa lalu. Jika kaum konseptualis membedakan kebudayaan dan pola-polanya, hal itu semata-mata untuk maksud kajian dan bukan karena dia mempercayai bahwa kebudayaan suatu entitas yang nyata.
Namun demikian, para pengikut konseptualis tidak setuju tentang sejauh mana individu dapat mempengaruhi proses budaya. Beberapa orang seperti Herkovits menerangkan bahwa semua pola budaya akhirnya dalam bentuk perilaku individu yang lain seperti Kroeber, seseorang pengikut yang berkeberatan terhadap posisi konseptualis, mempertahankan bahwa jauh lebih muda untuk menerangkan pola budaya dengan menggunakan pola budaya lain. Peristiwa-peristiwa budaya, kata Kroeber dipolakan tapi tidak dengan cara yang dapat dijajagi kesebab-sebab psikologis atau sosial tertentu. Karena mereka memandang kebudayaan sebagai kualitas perilaku manusia dan bukan entitas yang berdiri sendiri para pengikut konseptualis setuju dengan pandangan bahwa anak-anak harus mempelajari warisan budaya sesuai dengan perhatiannya. Anak-anak harus membangun gambaran sendiri tentang kebudayaan berdasarkan pengalamannya sendiri asal dia mengetes pengalaman belajar dengan pengalaman belajar orang lain dan asal saja dia mencapai suatu gambaran yang objektif tentang kebudayaan. Walaupun begitu para konseptualis tidak menyokong pandangan golongan subjektivis bahwa anak-anak harus belajar semata-mata hanya kalau semangatnya mendorongnya. Kebudayaan yang seperti itu mungkin bukan merupakan realitas yang absolut tetapi kebudayaan tersebut terdiri dari banyak pola perilaku terhadap mana individu-individu menyesuaikan diri sama seperti orang lain. Karena itu dia mesti mempelajari pola-pola ini, bukan apa yang disukainya saja. Para konseptualis sejalan tetapi sekali lagi tidak mengakibatkan prinsip bahwa pendidikan dapat menjadi alat pembaruan sosial. Tidak disangsikan, tidak ada kaum konseptualis yang mengharapkan sekolah sebagai alat untuk perubahan sosial sebanyak yang diharapkan kaum resoktruksionis. Namun demikian, banyak kaum konseptualis akan setuju walaupun sekolah mungkin tidak sanggup merubah kebudayaan, tetapi sekolah yang paling kurang dapat berbuat banyak untuk menciptakan opini yang kondusif bagi perubahan, sebuah iklim yang perlu jika individu-individu yang inovatif harus mendapat pengikut-pengikut dan dengan demikian mengerakkan pola baru dan permanen.
c)      Pandangan Golongan Realis Tentang Kebudayaan dan Pendidikan
Sejumlah kecil antropolog seperti David Bidney dan sejarahwan Philip Bagby, mempertahankan bahawa kebudayaan adalah sebuah konsep dan sebuah realitas. Bagby membantah bahwa kebudayaan adalah sebuah abstraksi dalam arti bahwa tidak kebudayaan itu sendiri dan tidak pula pola-pola yang membentuknya dapat diamati secara keseluruhan. Betapa jarang umpamanya anggota  keseluruhan suatu suku hadir bersama-sama sehingga seorang antropolog bisa melihat sekilas pola budaya dari kebudayaan mereka. Tetapi mereka juga menunjukan bahwa, sungguhpun kita tidak pernah mengamati secara serentak semua gerakan dari planet di sekitar matahari. Namun kita menyetujui adanya sistem solar. Mengapa tidak mungkin suatu kebudayaan sebagai realita? Kebudayaan yang demikian merupakan sebuah konstruk dalam arti dalam dirinya sendiri kebudayaan tersebut bukan sebagai entitas yang bisa di amati tetapi dalam arti lain kebudayaan yang demikian adalah nyata karena walaupun kita tidak dapat mengamatinya dengan penuh secara serentak. Ia tidak berada dalam hal ini dari entitas-entitas lainya seperti sistem solar di atas yang realitanya tidak kita pertanyakan.
Bidney juga mengatakan sebuah kebudayaan  sesungguhnya sumber dari konsep kebudayaan di abstraksikan. Dia juga mengemukakan bahwa ada sebuah meta cultural reality yang absolut yang semua kebudayaan mendekati bangunan tersebut, tetapi tidak secara sempurna identik denganya. Yang belakangan ini merupakan kebudayaan yang jika dapat di realisasikan akan menjawab secara lengkap kebutuhan manusia. Karena itu tidak ada kebudayaan yang secara absolut valid, tetapi masing-masingnya mencerminkan sebuah idea type. Para realis dan konseptualis setuju untuk menolak determinisme budaya yang penuh. Meskipun peristiwa-peristiwa budaya di masa lalu dan sekarang membatasi apa yang dapat dilakukan oleh anggota satu budaya pada waktu-waktu tertentu namun demikian kata Kluckhohn kebudayaan tidak mengikuti logika yang kaku dari dirinya sendiri.
Ada waktu-waktu dimana masyarakat menentukan nasibnya sendiri. (Jerman 1993, Inggris tahun 1940 adalah contoh-contoh konkrit). Juga sebab-sebab langsung dari perubahan sosial adalah ketidaksesuaian individu dengan budaya yang ada. Pada waktu ketidakpuasan meluas beberapa individu yang kreatif dapat menciptakan sebuah pola budaya yang baru dengan cepat akan di setujui dengan orang yang lain. Dengan demikian asal dari perubahan sosial adalah ketegangan dan ketidak puasan yang dirasakan oleh individu-individu tertentu. Bila mana ketidak amanan cukup kuat dan cukup meluas, pola baru akan mengecambah pada individu yang kreatif yang secara perlahan-lahan di tiru oleh semua anggota masyarakat.
Pandangan budaya realis terhadap budaya lebih dekat dengan pandangan aliran-aliran pemikiran pendidikan yang terpercaya kepada penyesuaian anak-anak terhadap realita objektif, baik alamiah maupun budaya dengan menanamkan pengetahuan, nilai-nilai, dan ketrampilan-ketrampilan tertentu yang telah di pilih oleh kebudayaan. Lebih berempati di bandingkan dengan kaum konseptualis, kaum realis mengingini sistem pendidikan yang akan melatih individu untuk menimbang dan merubah kebudayaan mereka berdasarkan nilai-nilai dasar mereka. Banyak pendidik tradisional untuk mencapai tujuan ini dengan mendidik generasi muda tentang apa yang di anggap kebenaran dan  nilai yang permanen, dengan mengunakan nilai-nilai yang ini generasi muda dapat mengatakan perubahan sosial apa yang harus mereka bantu, hindari atau gerakan. Golongan tradisional lain menganjurkan pendidikan ilmiah yang pokok, yang berguna bagi orang-orang muda jika mereka harus memilih tujuan-tujuan yang diizinkan oleh kebudayaan yang ada dan jika mereka akan menggunakan hukum-hukum kebudayaan yang di ketahui mereka untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Perubahan dengan kata lain bersifat evolusi bukan revolusi. Perubahan tersebut harus di bimbing oleh asumsi-asumsi dasar kebudayaan itu.






















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Menurut pandangan superorganis, kebudayaan adalah realitas super dan ada di atas dan di luar pendukung individunya dan kebudayaan punya hukum-hukumnya sendiri. Dalam pandangan konseptualis, kebudayaan bukanlah suatu entitas sama sekali, tetapi sebuah konsep yang digunakan  antropolog untuk menghimpun serangkaian fakta-fakta yang terpisah-pisah. Dalam pandangan para realis, kebudayaan adalah kedua-duanya yaitu sebuah konsep dan sebuah entitas empiris. Kebudayaan adalah sebuah konsep sebab ia bangunan dasar dari ilmu antropologi. Kebudayaan merupakan entitas empiris sebab konsep ini menunjukkan cara sebenarnya fenomena-fenomena tertentu diorganisasikan.
Implikasi pandangan superorganis terhadap pendidikan :
a.       Pendidikan adalah sebuah proses dimana kebudayaan mengontrol orang dan membentuknya sesuai dengan tujuan kebudayaan, sebagi alat yang digunakan masyrakat untuk melaksanakan kegiatanya dalam mencapai tujuan.
b.      Pandangan superorganis juga berimplikasi pada pengawasan pendidikan yang ketat dari pemerintah untuk menjamin guru-guru menanamkan diri generasi muda tentang gagasan-gagasan, sikap-sikap, dan ketarampilan-keterampilan yang perlu bagi kelanjuatan kebudayaan.
c.       Jika perilaku masyarakat ditentukan oleh kebudayaan, maka kurikulum sekolah yang merupakan salah satu insrtumen dalam pendidikan haris dikembangkan atas kajian langsung dan kebudayaan sekarang dan masa depan.

B.     Saran
Setelah menyusun makalah yang berjudul Teori Kebudayaan dan Implikasi dalam Pendidikan, kami berharap agar makalah ini dapat bermanfaat kepada para pembaca khususnya pada pembelajaran mata kuliah Sosiologi dan Antropologi Pendidikan. Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun dari para pembaca demi sempurnanya makalah ini.




















DAFTAR PUSTAKA

Anonim. (2010). Teori-Teori Kebudayaan. Diakses dari  http://tentangkomputerkita.blogspot.com/2010/01/bab-2.html pada tanggal 11 Maret 2015 pukul 13.00 WIB.

Arif. (2008). Teori Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Budaya. Diakses dari http://staff.blog.ui.ac.id/arif51/2008/11/11/teori-kebudayaan-dan-ilmu-pengetahuan-budaya/ pada tanggal 13 Maret 2015 pukul 13.10 WIB.

Erzuhedi. (2008). Kebudayaan dan Pendidikan. Diakses dari http://erzuhedi.wordpress.com/ pada tanggal 13 Maret 2015 pukul 13.15 WIB.


Koentjaraningrat. (1987). Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta : UI-Press

1 komentar:

  1. Mbak ada bukunya mbak? Atau kirim via wa mbak. Salam kenal saling berbagi ilmu dr Blora Jateng. 082328249888

    BalasHapus