BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kebudayaan berasal dari kata buddayah
yang berarti akal, maka tentunya budaya hanya dicapai dengan kemampuan akal
yang tinggi tingkatanya yang dimiliki oleh manusia. Kebudayaan merupakan
sebagai seluruh sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan manusia dengan belajar (menurut
koentjaraningrat 1991). Kebudayaan itu harus dipelajari, pembelajaran tersebut
melalui enkulturasi yakni proses sosial budaya yang dipelajari dan
ditransmisikan dari generasi ke generasi. Kebudayaan bukanlah milik seorang
saja namun justru adanya anggota dari suatu kelompok. Kebudayaan adalah simbol
yang berarti olahan pikir yang memungkinkan untuk mengkodekan atau membukakan
kode dari sesuatu yang hadir dihadapan kita. Kebudayaan tidak melalui sesuatu
yang tampil, berwujud dan indah. Segala apa yang hadir di sekitar manusia
adalah bagian dari kebudayaan yang datang secara berkelanjutan. Bahkan, mungkin
ada hal-hal yang terlihat remeh justru harus diperhatikan. Kebudayaan juga
bukanlah sekumpulan hal yang berpisah-pisah satu sama lain. Sebaliknya,
kebudayaan merupakan satu kesatuan dari banyak hal, termasuk sistem masyarakat.
Kebudayaan disampaikan oleh satu generasi ke generasi
berikutnya serta dari satu kurun waktu ke kurun waktu berikutnya. Dari
perspektif generasi muda, kebudayaan dipelajari oleh generasi muda dari
generasi-generasi sebelumnya. Jadi, ada proses penyampaian kebudayaan (transmision of culture) dan ada proses memperoleh
kebudayaan (the acquisition of culture).
Satu generasi mengajarkan atau memindahkan kebudayaan dan generasi yang lain
atau berikutnya belajar dan menerimanya. Penyampaian kebudayaan mencakup proses
belajar dan mengajar, karena itulah pemahaman tentang hakikat kebudayaan sangat
penting sekali artinya bagi orang-orang yang bergerak dalam dunia pendidikan
khususnya dan orang-orang yang terlibat dalam pembuat kebijakan pendidikan pada
umumnya. Pendidikan, baik yang bersifat formal, informal, maupuan nonformal
mendapat pengaruh dari kebudayaan yang ada dalam masyarakat. Di sekolah, para
siswa menerima warisan budaya yang telah dipersiapkan dan dirancang dalam kurikulum. Dalam lingkungan keluarga,
anak-anak mendapatkan pengalaman budaya langsung dari orang tua, adik kakak,
sanak saudara, pengasuh, dan orang-orang yang dekat dengannya. Dari kenyataan
yang ada nampak bahwa kebudayaan perlu dikembangkan dengan cara pendidikan.
Anak muda tidak akan matang secara budaya
tanpa ditunjukkan bagaimana menjadi dewasa. Anak-anak juga menyadari bahwa teknik
kedewasaan mesti dipelajari dari orang
dewasa. Masyarakat paham bahwa
penyampaian kebudayaan mereka tidak dibiarkan
terjadi secara kebetulan saja.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian antropologi?
2. Apa
saja macam-macam teori kebudayaan?
3. Bagaimana
implikasi teori kebudayaan dan implikasi dalam pendidikan?
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui dan memahami pengertian antropologi.
2. Untuk
mengetahui dan memahami macam-macam teori kebudayaan.
3. Untuk
mengetahui dan memahami implikasi teori kebudayaan dan implikasi dalam
pendidikan.
D.
Manfaat
1. Bagi Penulis
a.
Dapat
mengetahui pengertian antropologi.
b.
Dapat
mengetahui macam-macam teori antropologi.
c.
Dapat mengetahui implikasi
kebudayaan dan implikasi dalam pendidikan.
2.
Bagi
Pembaca
a.
Menambah
pengetahuan serta wawasan macam-macam teori antropologi.
b.
Menambah
pengetahuan serta wawasan implikasi kebudayaan dan implikasi dalam pendidikan.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Antropologi
Ilmu antropolgi sebagai suatu ilmu yang
mempelajari makhluk anthropos atau
manusia, merupakan suatu integrasi komplek masalah-masalah khusus mengenai
makhluk manusia. Proses integrasi merupakan suatu proses perkembangan panjang
yang dimulai sejak kira-kira permulaan abad ke – 19 yang lalu, dan berlangsung
terus sampai sekarang. Integrasi itu mulai mencapai bentuk konkret setelah
lebih dari enam puluh tokoh antropologi dari berbagai negara Era-Amerika
(termasuk ahli-ahli dari Uni Soviet) bertemu untuk mengadakan suatu International Symposium on Anthropology
dalam tahun 1951 mengadakan tinjauan menyeluruh dari segala kegiatan ilmiah
yang pernah dicapai oleh ilmu anthropologi sampai saat itu. Menghasilkan
buku-buku seperti Anthropology Today yang
diredaksi oleh A. L. Kroeber (1953), An
Appraisal of Anthropology Today yang diredaksi oleh S. Tax et al (1954), Yearbook of Anthropology yang diredaksi oleh W. L. Thomas Jr.
(1955), dan Current Anthropology yang
diredaksi oleh W. L. Thomas Jr. (1956).
Integrasi yang dicapai sesudah tahun
1951 yang sekarang telah disadari oleh banyak ahli di berbagai negara di mana
ilmu antropologi hidup dan hal ini tampak dari buku-buku pelajaran antropologi.
Hampir tiap negara yang menjalankan antropologi telah menyesuaikan antropologi
dengan ideologi dan kebutuhannya masing-masing. Hal ini disebabkan karena ilmu
yang akademis, antropologi mempunyai banyak segi praktisnya. Banyak macam ilmu
antropologi di berbagai negara, masing-masing berbeda tidak hanya mengenai
segi-segi terapan dari antropologi, akan tetapi juga mengenai segi-segi
metodologi dan teorinya.
2.
Macam
– macam Teori Kebudayaan
a.
Teori
Evolusi Kebudayaan
Evolusionisme
adalah perspektif antropologis yang menekankan anilisis pada kompleksitas
kebudayaan berkembang sepanjang waktu. Evolusionisme merupakan gagasan untuk
analisis teoritis dalam antropologi yang menggunakan dasar bahwa kebudayaan
dari setiap masyarakat akan maju berkembang melalui tahapan evolusi yang sama.
E. B Taylor dan L. H. Morgan mencetuskan perkembangan kebudayaan manusia pada
beberapa tahap. Tahap pertama adalah liar (savegery)
yang hidup dengan mengumpulkan buah-buahan, tanaman liar, dan lain sebagainya.
Kedua adalah barbarisme (barbarism) mengenal pembuatan alat-alat
seperti dari tanah liat atau tembikar, mengadakan irigasi, serta mulai
mengembangkan alat-alat logam. Tahap yang ketiga adalah kebudayaan yang beradab
(civilization) yang mulai
mengembangkan dan memakai alfabet.
1)
Konsep
Evolusi Sosial Universal H. Spencer
Ahli
filsafat Inggris H. Spancer (1820 – 1903) bersama dengan ahli filsafat Perancis
A. Comte termasuk aliran cara berpikir positivisme, yaitu aliran dalam ilmu
filsafat yang bertujuan menerapkan metodologi eksak yang telah dikembangkan
dalam ilmu fisika dan alam, dalam studi masyarakat manusia. Agak berbeda dengan
A. Comte, dalam studi-studinya Spencer mempergunakan bahan etnografi dan
etnografika secara sangat luas dan sangat sistematis. Walaupun dalam tulisan-tulisannya
Spancer selalu menyebut ilmu pengetahuan yang dilaksanakannya itu “ilmu
sosiologi” yaitu istilah yang diciptakan oleh A. Comte, ia juga dianggap
sebagai salah seorang tokoh utama dalam timbulnya ilmu antropologi.
Suatu
contoh dari teori Spencer mengenai asal mula religi. Pangkal pendirian mengenai
hal itu adalah bahwa pada semua bangsa di dunia religi itu mulai karena manusia
sadar dan takut akan maut. Serupa dengan pendirian ahli sejarah kebudayaan E.
B. Tylor, juga berpendirian bahwa bentuk religi yang tertua adalah penyembahan
kepada roh-roh yang merupakan personifikasi dari jiwa-jiwa orang-orang yang telah
meninggal terutama nenek moyangnya. Bentuk religi yang tertua ini pada semua
bangsa di dunia akan berevolusi ke bentuk religi yang menurut Spencer merupakan
tingkat evolusi yang lebih komplek dan berdiferensiasi, yaitu penyembahan
kepada dewa-dewa seperti dewa kejayaan, dewa kebijaksanaan, dewa perang, dewa
kecantikan, dewa maut dan sebagainya. Namun, walaupun religi dari semua bangsa
di dunia pada garis besar evolusi universal akan berkembang dari tingkat
penyembahan roh nenek moyang ke tingkat penyembahan dewa-dewa, secara khusus
tiap bangsa dapat mengalami proses evolusi yang berbeda-beda.
Contoh
lain mengenai anggapan Spancer tentang perbedaan antara proses evolusi
universal yang seragam dan proses evolusi khusus secara berbeda-beda, tampak
dalam teorinya tentang evolusi hukum dalam masyarakat. Dalam hubungan itu
Spencer berpendirian bahwa hukum dalam masyarakat manusia pada mulanya adalah
hukum keramat, merupakan aturan-aturan hidup dan bergaul yang berasal dari para
nenek moyang. Analisis secara sosiologi maka ketaatan warga masyarakat pada
zaman tersebut kepada aturan-aturan yang mereka anggap berasal dari para nenek
moyang itu adalah karena mereka saling butuh-membutuhkan dalam kehidupan
masyarakat. Azas timbal-balik inilah yang menjaga bahwa seorang individu tidak
akan merugikan atau berbuat jahat terhadap sesamanya.
Dalam
masalah terakhir Spencer sempat mengajukan juga pandangannya mengenai proses
evoluasi pada umumnya. Menurut Spencer, seperti dalam evolusi biologi di mana
jenis-jenis makhluk yang bisa hidup langsung itu adalah jenis-jenis yang paling
cocok dengan persyaratan lingkungan alamnya, maka dalam evolusi sosial
aturan-aturan hidup manusia serta hukum yang dapat dipaksakan tahan dalam
masyarakat adalah hukum yang melindungi kebutuhan para warga masyarakat yang
paling cocok dengan persyaratan masyarakat di mana mereka hidup yaitu :
kebutuhan warga masyarakat yang paling berkuasa, yang paling pandai, dan yang
paling mampu. Pandangan ini adalah pandangan Spencer mengenai “survival of the fittest”, yaitu daya
tahan dari jenis atau individu yang mempunyai ciri-ciri yang paling cocok
dengan lingkungannya.
2)
Teori
Evolusi Keluarga J. J. Bachofen
Teori-teori
evolusi hukum yang berbeda dari pada teori Spencer diajukan oleh beberapa ahli
hukum penting antara lain H. Maine yaitu ahli hukum Inggris yang terkenal dan
J. J. Bachofen ahli hukum Jerman. J. J Bachofen juga menjadi terkenal dalam
ilmu antropologi karena telah melambangkan teori tentang evolusi hukum milik,
hukum waris, dan juga erat bersangkutan dengan teori tentang evolusi betuk
keluarga. Teori yang diuraikan Bachofon dalam bukunya Das Mutterrecht (Hukum Ibu) dengan banyak bahan bukti yang tidak
hanya diambilnya dari masyarakat Yunani dan Rum Klasik, tetapi juga bahan
etnografi dari masyarakat bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan suku-suku bangsa
Indian di Amerika. Menurut Bachofen diseluruh dunia keluarga manusia berkembang
melalui empat tingkat evolusi. Dalam zaman yang telah lampau dalam masyarakat
manusia ada keadaan promiskuitas
yaitu di mana manusia hidup serupa binatang berkelompok dan laki-laki serta
wanita berhubungan dengan bebas dan melahirkan keturunannya tanpa ikatan.
Keadaan ini merupakan tingkat pertama dalam proses perkembangan masyarakat
manusia.
Perkawinan
antara ibu dan anak laki-laki dihindari dan dengan demikian timbul adat
exogami. Kelompok-kelompok ibu tadi itu menjadi luas karena garis keturunan
untuk selanjutnya diperhitungkan melalui garis ibu, maka timbul sesuatu keadaan
masyarakat yang oleh para sarjana waktu itu disebut matriarchate. Ini adalah tingkat kedua dalam proses perkembangan
manusia. Dalam tingkatan ketiga proses perkembangan masyarakat manusia terjadi
karena para pria tak puas dengan keadaan ini, lalu mengambil calon-calon isteri
mereka dari kelompok-kelompok lain dan membawa gadis-gadis itu ke
kelompok-kelompok mereka sendiri. Kejadian ini menyebabkan timbulnya secara
lambat-laun kelompok-kelompok keluarga dengan ayah sebagai kepala, dan dengan
meluasnya kelompok-kelompok serupa itu timbullah keadaan patriarchate. Tingkat terakhir terjadi waktu perkawinan di luar
kelompok yaitu exogami berubah menjadi endogami karena berbagai sebab. Endogami
atau perkawinan di dalam batas-batas kelompok menyebabkan bahwa anak-anak
sekarang senantiasa berhubungan langsung dengan anggota keluarga ayah maupun
ibu. Dengan demikian patriarchate
lambat laun hilang dan berubah menjadi suatu susunan kekerabatan yang Bachofen
disebut susunan parental.
3)
Teori
Evolusi Kebudayaan di Indonesia
Teori
evolusi kebudayaan, terutama teori evolusi keluarga dari J. J. Bachofen, juga
diterapakan terhadap aneka warna kebudayaan Indonesia oleh ahli antropologi Belanda
G. A. Wilken (1847 – 1891). Ia memulai karirnya pada tahun 1869 sebagai pegawai
Pangreh Praja (Pamong Praja) Belanda di Buru (Maluku), Gorontalo dan Ratahan
(Sulawesi Utara), Sipirok dan Mandailing (Sumatra Utara). Karangan-karangan
pertamanya sudah terbit sewaktu ia menjabat sebagai pegawai Pangreh Praja,
yaitu mengenai sewa tanah dan mengenai adat pemberian nama di Minahasa (Wilken
1873 – 1875), karangan etnografi singkat dari pulau Buru (1875), juga
karangan-karangan teori tentang evolusi perkawinan dan keluarga berjudul Over de Primitieve Vormen van het Huwelijk
en de Oorsprong van het Gezin (1880 – 1881). Karangan ini menerangkan tingkat-tingkat
evolusi Bachofen mengenai promiskuitas, matriarkhat, patriarkat dan keluarga
parental.
Pada
umumnya masalah-masalah serta gejala-gejala masyarakat dan kebudayaan ini
selalu ada hubungannya dengan teori dasarnya mengenai evolusi keluarga,
anggapannya tentang animisme adalah berdasarkan konsepsi seorang ahli yang
menganut konsepsi evolusi kebudayaan bernama E. B. Tylor. Tetapi di pihak lain
anggapannya tentang totemisme yang menurut Wilken pada mulanya adalah suatu
kepercayaan kepada jenis-jenis itu menjadi tempat reinkarnasi roh nenek moyang,
telah banyak mempengaruhi anggapan Tylor tentang totemisme. Akhirnya anggapan
Wilken tentang hukum adat di Indonesia (Vollenhoven 1928 : 101 – 102). Oleh
karena itu karangan-karangannya tentang hukum adat telah diterbitkan dalam
jilid tersendiri, yaitu Opstellen Over
Adatrecht (1926) di samping karangan-karangannya yang lain dikumpulkan
menjadi empat jilid Verspreide
Geschriften (1926).
4)
Teori
Evolusi Kebudayaan L. H. Morgan
Lewis
H. Morgan (1818 - 1881) mula-mula adalah seorang ahli hukum yang lama tinggal
di antara suku-suku bangsa Indian Iroquois, Lewis sebagai pengacara bagi
orang-orang Indian dalam soal-soal mengenai tanah. Dengan demikian ia mendapat
pengetahuan mengenai kebudayaan orang-orang Indian itu. Karangan etnografinya
yang pertama terbit tahun 1851, berjudul League
of the Ho de no Sau nie or Iroquois. Karangan-karangannya tentang orang
Iroquois terutama berpusat pada soal-soal susunan kemasyarakatan dan sistem
kekerabatan, dan dalam hal ini Lewis H. Morgan telah memberikan sumbangan yang
besar kepada ilmu antropologi pada umumnya. Dalam memperhatikan sistem
kekerabatan Morgan mendapatkan suatu cara untuk mengupas semua sitem
kekerabatan dari semua suku bangsa di dunia yang jumlahnya beribu-ribu itu,
yang masing-masing berbeda bentuknya.
Mula-mula
Morgan tertarik akan suatu gejala bahwa istilah-istilah kekerabatan (istilah
untuk menyebut kaum kerabat) dalam bahasa-bahasa Iroquois itu tidak sama isinya
dengan istilah-istilah kekerabatan dalam bahasa Inggris. Istilah hänih dalam bahasa Seneca misalnya
(salah satu logat Iroquois) lain isinya dengan istilah father dalam bahasa Inggris. Hänih
menunjukkan banyak individu yaitu ayah, semua saudara pria ayah dan semua
saudara pria ibu. Sebaliknya father
hanya menunjukkan seorang individu saja, yaitu ayah. Morgan mengerti bahwa di
belakang perbedaan sistem kekerabatan dalam bahasa juga terletak perbedaan dari
sistem kekerabatan hak-hak dan kewajiban. Dalam bahasa Iroquois hanya disebut
dengan satu istilah yang sama karena sikap, hak-hak dan kewajiban terhadap ayah
dan saudara ayah itu sama. Tetapi berbeda dengan bahasa Inggris ayah dan
saudara ayah berbeda hak-hak dan kewajibannya.
5)
Teori
Evolusi Religi E. B. Tylor
Edward
B. Tylor (1832-1917) adalah orang Inggris yang mula-mula mendapatkan pendidikan
dalam kesusasteraan dan peradaban Yunani dan Rum Klasik, dan kemudian tertarik
akan ilmu arkeologi. Pada tahun 1856 beliau turut mengikuti exspedisi Inggris
untuk menggali benda-benda arkeologi di Mexico. Dan dapat menghasilkan buku
sendiri mengenai kebudayaan Mexico kuno berjudul “Anahuac, or Mexico and the Mexicans, Acient and Modern” (1861),
buku ini merupakan hasil karya Tylor yang pertama. Buku tersebut merupakan sumbangannya
terhadap perkembangan antropologi. Dari karangan buku yang berjudul “Researches into the Early History of Mankind”(1871)
yang tebalnya dua jilid, tampak pendiriannya sebagai penganut cara berpikir
Evolusionisme. Seorang ahli antropologi bertujuan mempelajari sebanyak mungkin
kebudayaan yang beraneka-ragam di dunia, mencari unsur-unsur persamaan dalam
kebudayaan-kebudayaan tersebut dan kemudian mengklaskannya berdasarkan
unsur-unsur pesamaan tersebut sedemikian rupa, sehingga tampak sejarah evolusi
kebudayaan manusia dari tingkat satu ketingkat yang lain. Dalam penelitiannya
mengambil unsur-unsur budaya seperti sistem religi, kepercayaan, kesusasteraan,
adat-istiadat, upacara dan kesenian. Penelitiannya menghasilkan karya “Primitive Culture: Researches into the
Development of Mythology, Philosophy, Religion, Language, Art and Custom”
(1874). Dalam buku tersebut mengajukan teori tentang asal-mula religi adalah
kesadaran manusia akan adanya jiwa. Kesadaran akan faham jiwa disebabkan karena
dua hal :
1. Perbedaan
yang tampak pada manusia antara hal-hal yang hidup dan yang mati.
2. Peristiwa
mimpi manusia melihat dirinya ditempat-tempat lain. Bagian lain itulah yang
disebut jiwa.
Pada
waktu hidup jiwa masih tersangkut pada tubuh jasmani dan hanya dapat meninggalkan
tubuh manusia waktu tidur atau pingsan. Karena pada saat-saat serupa kekuatan
hidup pergi melayang, maka tubuh dalam keadaan lemah tetapi masih ada hubungan
jiwa dengan jasmani pada saat tidur atau pingsan. Alam semesta penuh dengan
jiwa-jiwa merdeka (jiwa yang telah terlepas dan tidak ada hubungan dengan
jasmani) Tylor tidak menyebut soul
atau jiwa tetapi disebut spirit
(makhluk halus atau roh). Dengan demikian pikiran manusia telah
mentransformasikan kesadarannya akan adanya jiwa menjadi keyakinan kepada
makhluk-makhluk halus.
Diantara
beratus-ratus karangan Tylor, menjadi pangkal dari suatu metode penelitian baru
yang kurang lebih empat puluh tahun kemudian berkembang dalam ilmu antropologi,
yaitu karangannya On a Method of
Investigating the Development of Institutions; Applied to the Laws of Marriage and
Descent (1889). Dalam karangan tersebuttt
diantara lain menunjukkan dengan bukti angka-angka statistik bagaimana
tingkat matriarchate berevolusi ke
tingkat patriarchate (suatu pendirian
yang berasal dari J.J Bachofen). Beliau mengambil tiga ratus masyarakat yang
tersebar di berbagai tempat di dunia dan khusus memperhatikan adat istiadat
yang bersangkutan dengan perkawinan. Mengenai adat couvade misalnya beliau mendapatkan bahwa adat tersebut tidak pernah
berdampingan dengan sistem matriarchate, sedangkan
ada delapan masyarakat dimana couvade
berdampingan dengan patriarchate.
Adat couvade dimaksudkan untuk
memperkuat hubungan antara ayah dengan anak di dalam masa perubahan dari
tingkat matriarchate ke tingkat patriarchate.
6)
Teori
J. R. Frazer Mengenai Ilmu Gaib dan Religi
J.
G. Frazer (1854 – 1941) adalah ahli folklor Inggris yang sangat banyak
menggunakan bahan etnografi dalam karya-karyanya dan karena itu kita anggap
juga sebagai salah seorang tokoh pendekar ilmu antropologi. Karyanya mengenai
asal mula dan perkembangan ilmu gaib dan religi yang juga dibayangkan olehnya
sebagai suatu proses yang melalui tingkat-tingkat evolusi yang seragam bagi
semua bangsa di dunia. Di antara karangan-karangannya mengenai folklor yang
terbilang banyaknya itu ada dua buah yang terpenting mengandung uraian tentang asal
mula dan evolusi ilmu gaib dan religi, yaitu Totemism and Exogamy (1910) yang terdiri dari empat jilid, dan
karya raksasanya berjudul The Golden
Bough (1911 - 1913) yang sebenarnya mengandung uraian dari teori Frazer
telah diterbitkan dalam bentuk paperback setebal
864 halaman tahun 1960 yang tebalnya dua jilid oleh penerbit MacMillan Company.
Teori Frazer mengenai asal mula ilmu gaib dan religi yaitu manusia memecahkan
soal-soal hidupnya dengan akal dan sistem pengetahuannya, tetapi akal dan
sistem pengetahuan itu ada batasnya. Makin terbelakang kebudayaan manusia,
makin sempit lingkaran batas akalnya. Soal-soal hidup yang tak dapat dipecahkan
dengan akal dipecahkannya dengan magic. Menurut
Frazer magic adalah semua tindakan
manusia (atau abstensi dari tindakan) untuk mencapai suatu maksud melalui
kekuatan-kekuatan yang ada di alam, serta seluruh komplek anggapan yang ada di
belakangnya. Manusia mula-mula hanya mempergunakan ilmu gaib untuk memecahkan
soal-soal hidupnya yang ada di luar batas kemampuan dan pengetahuan akalnya.
Pada waktu itu religi belum ada dalam kebudayaan manusia. Lambat laun terbukti
bahwa banyak dari tindakan magic tadi
tidak ada hasilnya. Maka mulailah Frazer yakin bahwa alam di diami oleh
makhluk-makhluk halus yang lebih berkuasa dari padanya, lalu mulailah beliau
mencari hubungan dengan makhluk-makhluk halus tersebut, dengan demikian timbullah
religi. Religi adalah segala sistem tingkah laku dan sikap manusia untuk
mencapai suatu maksud dengan cara menyandarkan diri kepada kemauan dan
kekuasaan makhluk-makhluk halus seperti roh-roh, dewa-dewa dan sebagainya yang
menempati alam. Ilmu gaib adalah segala sistem tingkah laku dan sikap manusia
untuk mencapai suatu maksud dengan menguasai dan mempergunakan
kekuatan-kekuatan dan kaidah-kaidah gaib yang ada di dalam alam. frazer membuat suatu klasifikasi dari
segala macam tindakan ilmu gaib ke dalam beberapa tipe ilmu gaib dalam bukunya The Golden Bough.
7)
Menghilangnya
Teori-teori Kebudayaan
Pada
akhir abad ke 19 mulai timbul kecaman-kecaman terhadap cara berfikir dan cara
bekerja para sarjana penganut evolusi kebudayaan. Pengumpulan bahan keterangan
baru terutama sebagai hasil penggalian-penggalian prehistori, bertambah banyak
berkat aktifitas-aktifitas penelitian para ahli antropologi sendiri.
Tingkat-tingkat evolusi dari para penganut teori-teori evolusi kebudayaan hanya
merupakan konstruksi-konstruksi pikiran saja, yang tidak sesuai dengan
kenyataan dan yang lama kelamaan tak dapat dipertahankan lagi. Pada permulaan
abad ke 20 hampir tidak ada lagi karya antropologi yang berdasarkan konsep
evolusi. Hanya kira-kira sekitar 1930 tampak adanya penelitian-penelitian
antropologi yang berdasarkan konsep-konsep di Uni Soviet. Dalam tahun 1940-an muncul
beberapa ahli antropologi Inggris dan Amerika yang menghidupkan lagi
konsep-konsep mengenai evolusi kebudayaan, tetapi tidak bersifat seragam bagi
semua bangsa di dunia.
b.
Kelompok
L’Année Sociologique
1)
Majalah
L’Année Sociologique
Ketika
teori-teori tentang evolusi kebudayaan di Inggris, Jerman dan Amerika Serikat
mulai kehilangan pengaruhnya di Perancis khususnya di Paris mulai tahun 1898
terbit suatu majalah mengenai ilmu sosiologi berjudul L’Année Sociologique yang diasuh oleh suatu ahli-ahli peneliti
masyarakat di bawah pimpinan ahli sosiologi Emile Durkheim. Anggota-anggota
lain yang tergabung dalam kelompok studi tersebut adalah M. Mauss, H. Beuchat,
M. David, A. Bianconni, R. Hertz, Lucien Lévy-Bruhl dan lain-lain yang hampir
semua menyebut dirinya ahli sosiologi atau ahli filsafat.
Pada akhir abad ke-19 dan permulaan
abad ke-20 di universitas-universitas di Perancis pun tidak ada antropologi,
sedangkan ilmu sosiologi mula-mulanya memang timbul di Perancis akibat usaha
ahli filsafat A. Comte. Para ahli sosiologi sesudah A. Comte mula-mula memang
memusatkan perhatian mereka pada masalah-masalah social dalam masyarakat
Perancis pada khususnya dan masyarakat Eropa pada umumnya, tetapi kemudian
beberapa di antara mereka ada yang mulai menggunakan data dan fakta-fakta
mengenai masalah-masalah sosial dari tempat-tempat lain di dunia, terutama dari
daerah-daerah jajahan Perancis di Afrika, di Asia Tenggara dan di Oseania. Dengan
demikian mereka tidak banyak berbeda dari ahli etnologi atau antropologi dan
untuk membedakan diri dari ilmu sosiologi yang mempelajari soal-soal masyarakat
perkotaan di Eropa, mereka menyebut diri ahli sosiologi etnografik. Emile
Durkheim pemimpin kelompok studi L’Année Sociologique adalah ahli
sosiologi dalam arti pertama maupun ahli sosiologi etnografik.
2)
Emile
Durkheim
Emile
Durkheim (1858 – 1917) lahir pada tahun 1858 di kota kecil Lorraine sebagai
putra suatu keluarga Yahudi Perancis. Emile Durkheim belajar filsafat di Jerman
dan tertarik akan karya-karya ahli-ahli filsafat seperti A. Comte, F. de
Coulanges dan C. H. Saint Simon. Pada tahun 1887 beliau menjadi dosen ilmu
sosiologi di Universitas Bordeaux dan dalam periode tersebut ia menuliskan ketiga
karyanya yang pertama dan sangat penting mengenai masalah unsur-unsur elementer
dan azas-azas masyarakat. Bukunya yang pertama adalah mengenai masalah
pembagian kerja dalam masyarakat dan berjudul De la Division du Travail Social (1893). Karya pentingnya yang
kedua adalah mengenai masalah aturan-aturan mengenai metode sosiologi yang
berjudul Les Règles de la Méthode
Sociologique (1895). Sedangkan karya yang ketiga mengenai gejala bunuh diri
sebuah studi sosiologi yang berjudul Le
Suicide; Etude de sosiologie. Sejak tahun 1898 Emile Durkheim menerbitkan
majalah L’Année Sociologique bersama
kelompok studi yang di binanya.
Konsep Fakta Sosial
landasan dari seluruh cara berfikir Durkheim mengenai masyarakat adalah
pandangannya mengenai suatu masyarakat yang hidup. Di situ ada manusia-manusia
yang berfikir dan bertingkah laku dalam hubungan satu dengan lain.
Manusia-manusianya disebut individu, sedangkan pikiran-pikiran yang mereka
keluarkan dan tingkah laku mereka disebut gejala atau fakta individual. Dalam
bertingkah laku manusia dihadapkan pada gejala-gejala atau fakta-fakta sosial
yang seolah-olah sudah ada di luar diri para individu yang menjadi masyarakat
tadi. Fakta-fakta sosial itu merupakan entitas yang berdiri sendiri, lepas dari
fakta-fakta individu. Fakta-fakta sosial mempunyai kekuatan memaksa individu
untuk berpikir menurut garis-garis dan bertindak menurut cara-cara tertentu.
Pandangan Durkheim mengenai masyarakat, fakta-fakta sosial dan individu warga
masyarakat yang menyesuaikan pikiran dan tingkah laku mereka dengan fakta-fakta
sosial. Dalam buku keduanya Les Règles de
la Méthode Sociologique buku pelajaran mengenai metodologi yang harus
dipakai oleh seorang ahli sosiologi yang mempelajari dan menganalisa gejala-gejala
sosial. Fakta-fakta sosial harus dipelajari secara objektif dengan memandangnya
sebagai benda. Durkheim bermaksud menekankan bahwa seorang ahli sosiologi harus
berusaha untuk menganggap gejala-gejala sosial itu sebagai kejadian-kejadian
yang kongkret, dengan suatu lokasi tempat yang nyata dan dalam suatu jangka
waktu tertentu. Dengan menggunakan metodologi mengobservasi, mengumpulkan
fakta, menganalisa, mengklasifikasi, menginterpretasi fakta-fakta sosial,
seorang ahli sosiologi harus meniru model yang diberikan para ahli fisika,
kimia atau fisiologi dan meninggalkan metodologi spekulasi dan interpretasi
fakta-fakta sosial dalam alam abstrak seperti yang dilakukan oleh para ahli
filsafat. Pandanganya mengenai fakta-fakta sosial sebagai hal-hal yang
mempunyai entitas sendiri memang sangat penting walaupun konsepnya mengenai fakta
sosial masih belum seksama. Durkheim seringkali menyamakan fakta sosial dengan
gejala sosial. Didalam bukunya mengenai metodologi sosiologi ia mengatakan
bahwa fakta sosial adalah pranata sosial atau institution. Dalam ilmu sosiologi dan antropologi masa kini kansep
yang diberi istilah-istilah khusus seperti gejala sosial, fakta sosial, manifestasi
sosial, pranata sosial, dan norma serta nilai sosial tersebut memang telah
dibedakan secara detail.
Konsep Gagasan Kolektif
atau réprésentations
collectives. dalam sebuah karangan khusus berjudul Réprésentations Individuelles at Réprésentations Collectives (1898)
Durkheim menerangkan bahwa dalam alam pikiran individu warga masyarakat
biasanya terjadi gagasan-gagasan dari proses-proses psikologi dalam organisme
dari seorang individu, yang berupa penangkapan pengalaman, rasa, sensasi dan yang
terjadi dalam organisme fisik, khususnya pada bagian syaraf, sungsum dan otak.
Semua bayangan, cita-cita dan gagasan yang telah terbentuk dalam akal
pikirannya disebut representations.
Réprésentations Individuelles adalah gagasan-gagasan milik seorang individu
yang berbeda dari gagasan milik seorang individu lain. Dengan naik satu tingkat
abstaraksi ke atas dari gagasan konsep individu, Durkheim tiba pada gagasan
kolektif. Karena dalam suatu masyarakat ada banyak manusia hidup bersama, maka
gagasan-gagasan dari sebagian besar masyarakat tergabung menjadi
komplek-komplek gagasan yang lebih tinggi yaitu gagasan kolektif. Gagasan
kolektif oleh Durkheim dianggap berada di luar diri para individu. Karena sudah
tercetuskan mendapat formasi dikembangkan dan dimantapkan maka gagasan kolektif
biasanya terumuskan dan tersimpan dalam bahasa dari masyarakat yang
bersangkutan dan dengan demikian dilanjutkan kepada generasi berikutnya.
Gagasan kolektif juga dianggap berada di atas para individu karena mempunyai
kekuatan untuk mengatur perilaku dan menjadi pedoman bagi kehidupan warga
masyarakat.
Teori Emile Durkheim
Tentang Azas Religi dalam karyanya yang
berjudul Les Formes Elémentaires de la
Vie Réligieuse (1912) yang berusaha menganalisa azas-azas dari religi
dimana ia mempergunakan bahan keterangan etnografi dari masyarakat dan
kebudayaan bangsa-bangsa di luar Eropa yaitu masyarakat dan kebudayaan
suku-suku bangsa penduduk pribumi Australia. Dalam buku tersebut Durkheim
melakukan tiga hal yaitu : (1) menganalisa religi yang dikenal sebagai wujud
religi dalam masyarakat yang paling bersahaja dengan maksud menentukan
unsur-unsur dan gagasan-gagasan elementer dari kehidupan keagamaan, (2)
meneliti sumber-sumber azasi dari unsur-unsur dalam religi yang bersahaja dan
(3) membuat generalisasi ke religi-religi lain mengenai fungsi azasi dari
religi dalam masyarakat manusia. Alasan Durkheim memilih suatu sistem religi
dalam masyarakat bersahaja adalah bahwa dengan demikian ia dapat lebih mudah
meneliti unsur-unsur elementer dan konsep-konsep azasi dari religi itu tanpa
terganggu oleh konsep-konsep, mite-mite, dan keyakinan-keyakinan komplek yang
kemudian ditambahkan kepada konsep-konsep azasi oleh para pemuka agama, ulama
atau penganut-penganut lain dalam religi yang bersangkutan. Durkheim kemudian
meninjau berbagai macam teori yang ada tentang asal mula religi. Pertama-tama
membahas teori E.B. Tylor tentang animisme,
seandainya memang benar bahwa agama
timbul karena pada suatu saat tertentu ada makhluk-makhluk manusia salah
menginterpretasikan mimpi, seperti apa yang dikatakan oleh Tylor, maka sudah
tentu religi itu sebagai ilusi sejak lama telah hilang dari masyarakat manusia.
Dan karena itu ada suatu sistem religi lebih azasi dan karena itu lebih tua
dari pada animisme dan sistem religi
yaitu toteisme. Dalam kesimpulannya
pada akhir karangannya, Durkheim menyatakan bahwa dalam semua sistem religi di
dunia ada suatu hal yang ada di luarnya, suatu hal in foro externo (1937 : 606) dalam arti bahwa hal itu tetap akan ada
dalam sistem religi, lepas dari wujud, isi, atau materinya yaitu kebutuhan
asazi dalam tiap masyarakat manusia yang mengikuti sistem religi untuk
mengintensifkan kembali kesadaran kolektifnya dengan upacara-upacara keramat.
Kebutuhan ini menurut Durkheim akan tetap ada, juga dalam ilmu pengetahuan
telah menggantikan kosmologi dan kosmologi agama dalam menerangkan azas-azas
kekuatan alam dan juga ajaran agama telah menyesuaikan diri dengan kemajuan
ilmu pengetahuan serta otonomi moral individual yang makin lama makin meluas.
Studi
Durkheim Mengenai Klasifikasi Primitif karya
essay Durkheim sebagai ahli sosiologi etnografi dengan muridnya M. Mauss
berjudul De Quelque Formes Primitives de
Classification, Contribution a l’Étude des Réprésentations Collèctives (1903).
Karangan tersebut membahas masalah gagasan kolektif tetapi dari sudut
terapannya dengan mempergunakan data dan bahan keterangan yang justru tidak
dari masyarakat Eropa melainkan dari masyarakat suku bangsa Tatathi, suku
bangsa Wakelbura di Australia Tengah, penduduk pribumi Queensland di Australia
Utara, suku bangsa Wotjobaluk di New South Wales di Australia Tenggara, suku
bangsa Kiwai dan Bamuiang di pantai Selat Torres (Papua Nugini Selatan), suku
bangsa Chingalee di pantai Teluk Carpentaria (Australia Utara), suku bangsa
Arunta di sebelah selatannya, suku bangsa Mooravia di daerah Sungai Culgua di
Australia Barat, suku bangsa Indian Zuni di daerah kebudayaan Amerika Barat
Daya (negara bagian Colorado), suku bangsa Indian Sioux di daerah kebudayaan
Plains (negara bagian Ohio) dan kebudayaan Cina Klasik. Karangan tersebut
mempersoalkan cara-cara serta prosedur-prosedur manusia menggolong-golongkan
segala hal, kejadian serta benda dalam lingkungannya ke dalam kategori-kategori
tertentu serta logika yang ada di belakangnya. Durkheim dan M. Mauss
mengembangkan hipotesis bahwa cara berfikir manusia-manusia tradisional atau
dengan sebutan manusia primitive.
3)
Marcel
Mauss
Marcel
Mauss (1872 – 1950) lahir di sebuah kota kecil Lorraine di Perancis dari
keluarga Yahudi. Mauss adalah salah seorang di antara para sarjana kelompok
studi l’Année Sociologique yang tidak
gugur atau meninggal selama Perang Dunia I diantara tahun 1914 dan 1918. Dalam
tahun 1925 ia mengumpulkan kembali kelompok studi l’Année Sociologique seperti dalam zaman Durkheim dan nomor pertama
yang terbit sebagai suatu seri baru (Nouvelle
Série) dalam tahun tersebut mengandung karangan mengenai fungsi dari pranata
tukar-menukar hadiah dalam bentuk masyarakat berjudul Essai sur le Don (1925) artinya
essai mengenai hadiah. Terjemahannya ke dalam bahasa Inggris The Gift pada tahu 1954 membuatnya
terkenal dalam ilmu antropologi masa kini. Pecahnya Perang Dunia II dalam tahun
1940 menyebabkan bahwa untuk kedua kalinya ia mengalami bubarnya kelompok studi
l’Année Sociologique Keadaan tersebut
membuatnya putus asa dan sampai meninggal pada tahun 1950 ia tidak menghasilkan
karya baru lagi.
Konsep Mauss Mengenai
Intensifikasi Integrasi Sosial dalam karangan
tersebut yang ditulisnya bersama mahasiswanya H. Beuchat mengenai Variations Saisonnières des Sociétés Eskimos ia mengembangkan
suatu konsep struktural fungsional yang penting mengenai integrasi sosial
masyarakat manusia. Karangan Mauss dan Beuchat mulai dengan suatu uraian
geografi ekologikal mengenai lingkungan alam kutub dari daerah pemukiman
Eskimo. Konsep yang dulunya didefinisikan oleh Durkheim adalah konsep morfologi
sosial, Mauss dan Beuchat telah menggambarkan dua morfologi sosial dari masyarakat
Eskimo yaitu morfologi sosial musim panas dan morfologi sosial musim dingin.
Deskripsi Mauss dan Beuchat mengenai dua morfologi sosial masyarakat Eskimo
ditulis secara sangat terampil dari bahan karangan yang termuat secara tercecer
dalam lebih dari dua buah etnografi yang berasal dari berbagai zaman yang
berbeda-beda termasuk bahan keterangan dari ilmu arkeologi. Kasus kehidupan
Eskimo menurut Mauss dan Beuchat juga dapat memberi pelajaran kepada kita bahwa
solidaritas sosial dari suatu masyarakat tersebut dapat mengendor dan menjadi
intensif lagi menurut musim sehingga perlu ada usaha-usaha khusus untuk
berulang-ulang mengintensifkan kembali solidaritas sosial tersebut. Salah
satunya kekuatan penting untuk mengintensifkan kembali solidaritas sosial
adalah sentimen keagamaan yang diintensifkan kembali oleh upacara keagamaan.
Menurut Mauss dan Beuchat bahwa studi mereka merupakan suatu studi kasus secara
mendalam yang bisa memberi pengertian yang lebih utuh mengenai azas-azas
kehidupan masyarakat, agar dapat dikembangkan kaidah-kaidah sosial yang lebih
mantap dalam sosiologi.
4)
Lucien
Lévy-Bruhl
Lucien
Lévy-Bruhl (1857 – 1945) ia menjadi terkenal dalam karangan ilmu antropologi
pada permulaan abad ke 20 karena karya-karyanya mengenai masalah mentalitas
primitif.
Konsep Mentalitas
Primitif Lévy-Bruhl mulai tertarik akan masalah
itu karena mula-mula membahas teori Tylor tentang asal muasal religi. Tylor
pernah mengembangkan teori bahwa religi manusia timbul karena manusia purba
pada waktu ketika menemukan adanya jiwa sebagai kesimpulan terhadap gambaran
diri yang dibayangkan dalam mimpi. Lévy-Bruhl tidak setuju dengan teori itu
karena menganggap bahwa mentalitas
manusia purba tak mungkin dapat berfikir secara abstrak seperti itu, untuk
membahas dan mengecam teori Tylor ia mulai mempelajari banyak bahan
etnografi terutama yang termuat dalam
jilid-jilid majalah l’Année Sociologique.
Sesudah belajar ia siap melangkahkan kritiknya yang menjadi buku tebal dengan
judul Les Fonctions Mentales dans les
Sociétes Inférieurs (1910). Buku tersebut mulai dengan kritik yang luas
terhadap teori Tylor, kemudian menjadi positif dengan mengajukan anggapan bahwa
dalam alam pikiran manusia ada proses-proses jiwa yang sangat berbeda
dengan proses-proses jiwa dalam alam
pemikirannya, apabila ia berpikir logika ilmu pengetahuan yang positif.
Proses-proses jiwa yang berbeda tersebut disebut mentalité primitive atau cara berfikir primitive karena cara itu
terutama ada dalam masyarakat yang primitif. Beda antara cara berfikir primitif
dan cara berfikir menurut logika ilmiah terletak dalam tiga unsur yaitu :
a) Loi de participation atau
kaidah partisipasi yaitu terlihat dalam proses-proses rohani yang menghubungkan
hal-hal yang tampak pada lahirnya sama, hal-hal yang bunyi sebutannya sama,
hal-hal yang berdekatan tempat, hal-hal yang berdekatan waktunya, dan hal-hal
berikut pada hal-hal lain itu masing-masing dalam hubungan sebab-akibat dan
seringkali menyamakannya. Contoh : suku bangsa Bororo si individu merelakan
diri satu pribadi dengan binatang totemnya yaitu burung kakak tua merah.
b) Unsur
mystique yang biasanya diartikan
dalam ilmu teologi. Lévy-Bruhl memakainya untuk melukiskan suatu sifat dari
alam pikiran primitif yaitu sifat yang menganggap seluruh alam diliputi oleh
suatu kekuatan gaib tertentu yang rupa-rupanya berada di dalam segala hal.
Kekuatan itu dianggap berada di luar kemampuan alam pikiran manusia tetapi
dapat menyebabkan kebahagiaan maupun malapetaka.
c) Unsur
prélogique Lévy-Bruhl mencoba
menerangkan suatu sifat dari alam pikiran primitif yang memungkinkan untuk
menganggap sesuatu hal tersebut ada dan juga tidak ada pada suatu tempat dan
saat. Anggapan bahwa Tuhan dapat berada pada suatu tempat tertentu pula, tetapi
dapat juga berada pada tempat lain pada saat itu juga.
Alam pikiran primitif memang paling
nyata dalam kehidupan bangsa-bangsa yang masih sangat kurang sekali terpengaruh
oleh kebudayaan bangsa-bangsa modern, karena pada bangsa-bangsa tersebut unsur-unsur
kebudayaan seperti upacara keagamaan, ilmu gaib, adat pantangan dan mitologi
menguasai kehidupan hampir seluruh lapangan hidup. Ini tidak berarti bahwa
manusia yang menjadi pemangku kebudayaan serupa itu tidak dapat berfikir
logika, tetapi sebaliknya hal itu juga tidak berarti bahwa manusia modern tidak
pernah berfikir menurut cara-cara mentalité
primitive. Maka walaupun alam pikiran primitif itu memang lebih sering
menguasai kehidupan manusia terbelakang, tetapi sebenarnya alam pikiran
primitif itu ada dalam pikiran semua manusia di dunia. Setelah anggapan
Lévy-Bruhl diumumkan kepada dunia ilmiah timbullah serangan-serangan dari
tokoh-tokoh antropologi seperti W. H. R. Rivers, W. Schmidt, P. Radin A. A.
Goldenweiser dan lainnya, ada pula sarjana-sarjana dari ilmu-ilmu lainnya. Dua
orang sarjana Indonesia yang pernah juga melakukan kritikan terhadap teori
Lévy-Bruhl yaitu T. S. G. Moelia dan P. J. Zoetmulder. Hampir semua kritik
terutama dari kalangan ilmu antropologi menyalahkan Lévy-Bruhl dengan menyatakan
bahwa ia telah menarik suatu garis yang terlalu keras antara bangsa-bangsa
primitif dan bangsa-bangsa modern seolah-olah garis itu memisahkan dua kategori
manusia yang masing-masing mempunyai susunan pikiran yang sama sekali berbeda.
Lévy-Bruhl menyerah begitu saja, dan serangan-serangan yang hebat malah memberi
dorongan kepadanya untuk tetap mempertahankan dan mempertajam anggapannya dalam
kurang lebih lima belas karangan yang ditulisnya antara tahun 1910 dan 1938.
Akhirnya ia menyerah dan menarik kembali seluruh teorinya tetapi hal tersebut
baru diumumkan setelah ia meninggal.
c.
Teori-teori
Fungsional dan Struktural
1.
Fungsionalisme
Malinowski
Teori-teori
fungsional dalam ilmu antropologi dikembangkan oleh seorang tokoh teori
antropologi yaitu Bronislaw Malinowski (1884 – 1842). Bronislaw Malinowski
mulai tertarik akan penggunaan praktis dari ilmu antropologi dalam meneliti dan
mengatur proses perubahan kebudayaan tradisional bangsa-bangsa Afrika, Asia dan
Oseania akibat pengaruh kebudayaan Eropa dan mencurahkan perhatian penuh
terhadap antropologi terapan dalam administrasi kolonial yang disebut practical anthropology serta
masalah-masalah sangkut pautnya dengan perubahan kebudayaan atau culture change. Bronislaw Malinowski
mulai mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk menganalisa fungsi dari
kebudayaan manusia yang disebutnya teori fungsional tentang kebudayaan atau a fungctional theory of culture.
Etnografi Berintegrasi
Secara Fungsional karangan etnografi
pertama hasil penelitian lapangan di Kepulauan Trobriand di sebelah tenggara
Papua Nugini berjudul Argonauts of the
Western Pacific (1922). Pokok lukisannya adalah suatu sistem perdagangan
antara penduduk kepulauan Trobriand atau Boyowa kepulauan Amphlett, kepulauan
D’entrecasteaux atau Dobu, pulau St. Aignau atau Misima, kepulauan Laughlan
atau Nada dan kepulauan Woodlark atau Murua. Dengan hanya perahu-perahu kecil
yang bercadik dan dengan awak kapal yang berjumlah sepuluh hingga lima belas
orang penduduk Trobriand dan penduduk kepulauan lain berani menyeberangi laut
terbuka untuk berlayar dari pulau ke pulau sampai berates-ratus mil jauhnya.
Benda-benda yang diperdagangkan dengan cara tukar-menukar (barter) berupa
berbagai macam makanan, barang kerajinan, alat-alat perikanan, perkebunan, dan
alat rumah tangga. Di samping itu tiap transaksi diadakan tukar menukar dua macam benda perhiasan yaitu kalung-kalung
kerang (sulava) dan gelang-gelang
kerang (mwali) sistem perdagangan
tersebut disebut sistem kula.
Bronislaw Malinowski membedakan antara fungsi social dalam tiga tingkat
abstarksi (Kaberry 1957 : 82) :
a) Fungsi
sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat
abtraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya terhadap adat, tingkah laku
manusia dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat.
b) Fungsi
sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat
abtraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan suatu adat
atau pranata lain untuk mencapai maksudnya seperti yang dikonsepsikan oleh
warga masyarakat yang bersangkutan
c) Fungsi
sosial dari suatu adat atau pranata sosial pada tingkat abstraksi ketiga
mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya
secara terintegrasi dari suatu sistem sosial yang tertentu.
Teori
Fungsional Tentang Kebudayaan Malinowski
mengembangkan teori tentang fungsi unsur-unsur kebudayaan yang sangat komplek.
Tetapi inti dari teori tersebut adalah pendirian bahwa segala aktivitas
kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah
kebutuhan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya.
Malinowski
Tentang Perubahan Kebudayaan bahwa Malinowski tidak
memperhatikan proses-proses perkembangan kebudayaan dalam pemikiran-pemikirannya.
Dengan melukiskan suatu masyarakat dengan mengintegrasikan seluruh aspeknya
menjadi satu, seolah-olah ia mengambil gambaran dari masyarakat tersebut pada
saat itu saja, sehingga gambaran tersebut merupakan suatu pembekuan dari
kehidupan masyarakat pada satu detik dalam ruang waktu. Kecaman tersebut
diperhatikan oleh Malinowski dan pada akhir hidupnya ia berhasil menulis sebuah
buku yang terbit anumerta berjudul The
Dynamics of Culture Change, An Inquiry into Race Relation in Africa (1945).
Dalam buku tersebut ia mengajukan suatu metode untuk mencatat dan menganalisa
sejarah dan proses-proses perubahan kebudayaan dalam suatu masyarakat yang
hidup.
2.
Strukturalisme
Radcliffe-Brown
Teori-teori
struktural dalam ilmu antropologi ada beberapa macam, tetapi konsepnya untuk
pertama kali diajukan oleh A. R. Radcliffe-Brown (1881 – 1955).
Etnografi
Berintegrasi Secara Fungsional etnografi
Radcliffe-Brown mengenai kebudayaan penduduk kepulauan Andaman berjudul The Andaman Islanders (1922) sangat
miskin. Buku tersebut hanya mengandung deskripsi mengenai organisasi sosial secara
umum tidak mendetail dan banyak memuat mengenai upacara keagamaan, keyakinan
keagamaan dan mitologi. Cara ia melukiskan upacara keagamaan dan mitologi orang
Andaman memang merupakan metode deskripsi yang pasti akan memuaskan Durkheim
dan kawan-kawannya. Dalam kata pengantarnya Radcliffe-Brown memang menyatakan
dengan jelas bahwa ia menerapkan konsepsi para ahli sosiologi Perancis yaitu H.
Hubert.
3.
Teori
Fungsional Struktural Arthur Maurice Hocart
Seorang
sarjana Inggris Arthur Maurice Hocart (1883 – 1939) ia menerbitkan banyak buku
antara lain The Progress of Man and Kings
and Councellors (1936).
Hipotesa
Mengenai Fungsi Upacara dan Raja Hocart menulis
sebuah buku yang sangat unik yaitu yang berjudul The Progress of Man and Kings and Councellors (1936) yaitu mengenai
fungsi upacara dan raja dalam masyarakat manusia. Dengan menggunakan bahan
etnografi dari empat puluh delapan suku bangsa dan peradaban (termasuk
peradaban China, Inggris dan Yunani Kuno) dari delapan kawasan di duni, serta
bahan sejarah dan arkeologi. Ia mengembangkan hipotesa mengenai terjadinya
organisasi pemerintah yang disebut negara dalam masyarakat manusia serta hipotesa
mengenai fungsi dari upacara serta tindakan-tindakan simbolik di dalamnya.
3.
Implikasi
Kebudayaan dan Implikasi dalam Pendidikan
Ada tiga pandangan tentang kebudayaan, yaitu pandangan
superorganis, pandangan kaum konseptualis, dan pandangan realis. Menurut
pandangan superorganis, kebudayaan adalah realitas super dan ada di atas dan
diluar pendukung individualnya dan kebudayaan punya hukum-hukumnya sendiri.
Dalam pandangan konseptualis, kebudayaan bukanlah suatu entitas sama sekali,
tetapi sebuah konsep yang digunakan antropolog untuk menghimpun serangkaian
fakta-fakta yang terpisah-pisah. Dalam pandangan para realis, kebudayaan adalah
kedua-duanya, yaitu sebuah konsep dan sebuah entitas empiris. Kebudayaan adalah
sebuah konsep sebab ia bangunan dasar dari ilmu antropologi. Kebudayaan
merupakan entitas empiris sebab konsep ini menunjukkan cara sebenarnya
fenomena-fenomena tertentu diorganisasikan.
a)
Pandangan Superorganis
Tentang Kebudayaan dan Pendidikan
Inti
pandangan superorganis adalah bahwa kebudayaan merupakan sebuah kenyataan sui
generis, karena itu dijelaskan dengan hukum-hukumnya sendiri. Meskipun adalah
benar bahwa faktor-faktor tertentu teknologi dan ekonomi. Kebudayaan tidak
mungkin diterangkan dengan menggunakan sumbernya sebagaimana sebuah molekul
dimengerti hanya dengan jumlah atom-atomnya, sumber-sumber bisa menjelaskan
bagaimana kebudayaan muncul, tetapi bukan kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan
dengan ringkas lebih dari pada hasil kekuatan-kekuatan sosial atau ekonomi, kebudayaan
merupakan realitas yang menyebabkannya mungkin ada. Menurut Emile Durkheim,
“kebudayaan terdiri dari fakta-fakta sosial dan representasi kolektif yaitu
cara berpikir, bertindak, dan merasa yang bersifat independen dan berada diluar
individu. Cara-cara berperilaku ini membebankan sebuah kekuatan memaksa
terhadap individu yaitu dia dihukum, baik secara legal maupun moral bila tidak
mematuhinya. Faktor-faktor moral tidak dapat dijelaskan secara psikologis,
tetapi hanya dengan menggunakan fakta sosial yang lain. Demikianlah, sebuah
gagasan atau sentimen mungkin semua disuarakan oleh seorang tertentu, tetapi ia
akan menjadi fakta sosial hanya melalui percampuran dengan gagasan-gagasan dan
perasaan-perasaan orang lain.
Menurut
Durkheim, kebudayaan yang dipahami sebagai totalitas fakta-fakta sosial
bersifat immanen dan transenden. Pada satu pihak kebudayaan bekerja dalam diri
individu, membimbingnya untuk berperilaku menurut cara tertentu, pada pihak
lain, kebudayaan ada diluar mereka dalam bentuk representatif kolektif terhadap
mana mereka harus menyesuaikan diri. Kebudayaan, katanya adalah sebuah kesadaran
kolektif sebuah kesatuan psikis yang memiliki cara berpikir, merasa, dan
bertindak berbeda dari cara-cara khusus individu-individu yang membentuknya.”
Sebagaimana Hegel, Durkheim percaya bahwa apa yang terbaik pada seseorang
datang kepadanya dari kebudayaannya dan hal itu, sebenarnya, adalah
kebudayaannya yang bekerja dalam dirinya. Demikianlah seorang memuaskan dirinya
sendiri sampai batas ia menjadi terlibat dalam kebudayaannya dan menjadikan
aspirasi budaya tersebut menjadi miliknya. Sebaliknya, semakin memusatkan diri
seseorang terhadap dirinya sendiri, semakin lebih terbatas kepribadiannya dan
semakin cenderung dia untuk bunuh diri. Diantara antropolog di negara yang berbahasa
Inggris, pandangan superorganis telah dipertahankan oleh B. Malinowski dan A. L.
Kroeber, yang menemukan istilah superorganis, tetapi yang kemudian bergerak
lebih dekat pada posisi konseptualis. Sekarang yang menjadi eksponen utamanya
adalah L. A. White.
Menurut
pandangan superorganis perilaku manusia ditentukan secara budaya. Anggaplah
bahwa individu memungkinkan adanya kebudayaan (karena supaya ada, kebudayaan
harus punya pendukung) namun itu tidak berarti bahwa individu menjadi sebab
perilakunya sendiri seperti halnya pelaku sebuah sandiwara memutuskan apa yang
harus mereka pertontonkan. Kebudayaan mengontrol kehidupan anggotanya
sebagaimana halnya sebuah sandiwara mengontrol kata-kata dan perbuatan aktor.
Individu, kata White adalah pada hakekatnya sebuah organisasi kekuatan-kekuatan
kebudayaan dalam elemen-elemen yang menekan dari luar dan yang menemukan
expresi nyatanya melalui individu. Dilihat demikian, individu tidak lain dari
expressi sebuah tradisi supra biologi dalam bentuk fisik. Orang dapat menguasai
aspek-aspek tertentu alam fisik hanya karena dia ada di luarnya, setelah
memunculkan semacam kesatuan, yaitu kebudayaan yang tidak lagi seluruhnya
tunduk kepada hukum alam. Kebudayaan karena itu tidak bisa dikontrol manusia,
karena dia sendiri merupakan bagian dari kebudayaan.
Pandangan
superorganis mempunyai implikasi terhadap pendidikan. Yang pertama, adalah
bahwa pendidikan ialah sebuah proses melalui mana kebudayaan mengotrol orang
dan membentuknya sesuai dengan tujuan kebudayaan. Menurut L. White pendidikan merupakan alat yang digunakan
masyarakat melaksanakan kegiatannya sendiri dalam mengejar tujuannya.
Demikianlah, selama masa damai masyarakat di didik untuk damai, tapi bila
bangsa sedang berperang masyarakat mendidik anggotanya untuk perang. Bukan
masyarakat yang mengontrol kebudayaan melalui pendidikan sebaliknya, pendidikan
formal dan informal adalah proses membawa tiap-tiap generasi baru ke bawah
pengontrolan sistem budaya. Untuk jelasnya, kebijakan pendidikan ditentukan
oleh individu-individu, tetapi individu-individu hanya alat melalui mana
kekuatan-kekuatan budaya mencapai tujuannya. Bila para pendidik memilih,
kebudayaan memilih melalui mereka Pandangan superorganis juga berimplikasi pada
pengawasan pendidikan yang ketat dari pemerintah untuk menjamin bahwa guru-guru
menanamkan dalam diri generasi muda gagasan-gagasan, sikap-sikap, dan
keterampilan-keterampilan yang perlu bagi kelanjutan kebudayaan.
Kritik
terhadap Pandangan Superorganik :
1) Menurut F.
Boas (1940) mengatakan bahwa kebudayaan
tidak bergerak sendiri tetapi merupakan ciptaan individu-individu yang
hidup bersama. Kebudayaan bukan sebuah entitas yang mistis.
2) Pandangan
superorganik boleh dikritik karena memisahkan kebudayaan dari manusia yang membangunnya.
3) Orang juga bisa
berkeberatan bahwa individu pada satu pihak, dan kebudayaan dilihat sebagai
superorganik pada pihak lain, tidak bisa dibandingkan dan karena itu, kemudian
tidak bisa berinteraksi. Karena dengan cara bagaimanakah secara empiris dapat
ditentukan bahwa realitas superorganik masuk ke dalam kehidupan seseorang dan
membentuk perilakunya.
4) Keberatan
utama adalah bahwa walaupun kebudayaan menentukan banyak dari bentuk dan isi
dari perilaku individu, kebudayaan tidak menentukan perilaku secara
keseluruhan.
5) Tidak dapat
disangsikan, bahwa kebudayaan adalah superorganis dalam arti bahwa kebudayaan
berumur panjang dan sebagian besar bertanggung jawab dalam membentuk perilaku
manusia. Tetapi kebudayaan bukan sebuah
satuan yang independen, punya sebab sendiri dan punya arah sendiri.
b) Pandangan Konseptualis Tentang
Kebudayaan dan Pendidikan
Umumnya
antropolog Amerika menganut apa yang dinamakan pandangan konseptualis tentang
kebudayaan. Mereka mengatakan bahwa kebudayaan adalah konsep atau konstruk
seorang antropolog. Apa yang diamati orang tidak pernah kebudayaan seperti itu
saja, tetapi banyak bentuk-bentuk perilaku yang dipelajari dan dipakai bersama
dengan benda-benda hasil produksi mereka. Dari sini pikiran tentang kebudayaan
diabstraksikan. Menurut kaum konseptualis pada akhirnya semua kebudayaan mesti
diterangkan secara sosial psikologis. Dalam kata-kata R. Linton bahwa
kebudayaan ada hanya dalam fikiran individu-individu yang membentuk suatu
masyarakat. Kebudayaan mendapatkan semua kualitasnya dari kepribadian-kepribadian
mereka dan interaksi dari kepribadian-kepribadian itu. Bukan kebudayaan yang menyebabkan
proses budaya terjadi tetapi orang-orang dipengaruhi oleh apa yang dikerjakan
orang-orang dimasa lalu. Jika kaum konseptualis membedakan kebudayaan dan pola-polanya,
hal itu semata-mata untuk maksud kajian dan bukan karena dia mempercayai bahwa
kebudayaan suatu entitas yang nyata.
Namun
demikian, para pengikut konseptualis tidak setuju tentang sejauh mana individu
dapat mempengaruhi proses budaya. Beberapa orang seperti Herkovits menerangkan
bahwa semua pola budaya akhirnya dalam bentuk perilaku individu yang lain
seperti Kroeber, seseorang pengikut yang berkeberatan terhadap posisi
konseptualis, mempertahankan bahwa jauh lebih muda untuk menerangkan pola
budaya dengan menggunakan pola budaya lain. Peristiwa-peristiwa budaya, kata
Kroeber dipolakan tapi tidak dengan cara yang dapat dijajagi kesebab-sebab
psikologis atau sosial tertentu. Karena mereka memandang kebudayaan sebagai
kualitas perilaku manusia dan bukan entitas yang berdiri sendiri para pengikut
konseptualis setuju dengan pandangan bahwa anak-anak harus mempelajari warisan budaya
sesuai dengan perhatiannya. Anak-anak harus membangun gambaran sendiri tentang
kebudayaan berdasarkan pengalamannya sendiri asal dia mengetes pengalaman
belajar dengan pengalaman belajar orang lain dan asal saja dia mencapai suatu
gambaran yang objektif tentang kebudayaan. Walaupun begitu para konseptualis
tidak menyokong pandangan golongan subjektivis bahwa anak-anak harus belajar
semata-mata hanya kalau semangatnya mendorongnya. Kebudayaan yang seperti itu
mungkin bukan merupakan realitas yang absolut tetapi kebudayaan tersebut
terdiri dari banyak pola perilaku terhadap mana individu-individu menyesuaikan
diri sama seperti orang lain. Karena itu dia mesti mempelajari pola-pola ini,
bukan apa yang disukainya saja. Para konseptualis sejalan tetapi sekali lagi
tidak mengakibatkan prinsip bahwa pendidikan dapat menjadi alat pembaruan
sosial. Tidak disangsikan, tidak ada kaum konseptualis yang mengharapkan
sekolah sebagai alat untuk perubahan sosial sebanyak yang diharapkan kaum
resoktruksionis. Namun demikian, banyak kaum konseptualis akan setuju walaupun
sekolah mungkin tidak sanggup merubah kebudayaan, tetapi sekolah yang paling
kurang dapat berbuat banyak untuk menciptakan opini yang kondusif bagi
perubahan, sebuah iklim yang perlu jika individu-individu yang inovatif harus
mendapat pengikut-pengikut dan dengan demikian mengerakkan pola baru dan
permanen.
c) Pandangan Golongan Realis Tentang
Kebudayaan dan Pendidikan
Sejumlah
kecil antropolog seperti David Bidney dan sejarahwan Philip Bagby,
mempertahankan bahawa kebudayaan adalah sebuah konsep dan sebuah realitas.
Bagby membantah bahwa kebudayaan adalah sebuah abstraksi dalam arti bahwa tidak
kebudayaan itu sendiri dan tidak pula pola-pola yang membentuknya dapat diamati
secara keseluruhan. Betapa jarang umpamanya anggota keseluruhan suatu suku hadir bersama-sama
sehingga seorang antropolog bisa melihat sekilas pola budaya dari kebudayaan
mereka. Tetapi mereka juga menunjukan bahwa, sungguhpun kita tidak pernah
mengamati secara serentak semua gerakan dari planet di sekitar matahari. Namun
kita menyetujui adanya sistem solar. Mengapa tidak mungkin suatu kebudayaan
sebagai realita? Kebudayaan yang demikian merupakan sebuah konstruk dalam arti
dalam dirinya sendiri kebudayaan tersebut bukan sebagai entitas yang bisa di
amati tetapi dalam arti lain kebudayaan yang demikian adalah nyata karena
walaupun kita tidak dapat mengamatinya dengan penuh secara serentak. Ia tidak
berada dalam hal ini dari entitas-entitas lainya seperti sistem solar di atas
yang realitanya tidak kita pertanyakan.
Bidney juga mengatakan
sebuah kebudayaan sesungguhnya sumber
dari konsep kebudayaan di abstraksikan. Dia juga mengemukakan bahwa ada sebuah meta cultural reality yang absolut yang
semua kebudayaan mendekati bangunan tersebut, tetapi tidak secara sempurna identik
denganya. Yang belakangan ini merupakan kebudayaan yang jika dapat di
realisasikan akan menjawab secara lengkap kebutuhan manusia. Karena itu tidak
ada kebudayaan yang secara absolut valid, tetapi masing-masingnya mencerminkan
sebuah idea type. Para realis dan
konseptualis setuju untuk menolak determinisme budaya yang penuh. Meskipun
peristiwa-peristiwa budaya di masa lalu dan sekarang membatasi apa yang dapat
dilakukan oleh anggota satu budaya pada waktu-waktu tertentu namun demikian
kata Kluckhohn kebudayaan tidak mengikuti logika yang kaku dari dirinya
sendiri.
Ada
waktu-waktu dimana masyarakat menentukan nasibnya sendiri. (Jerman 1993, Inggris
tahun 1940 adalah contoh-contoh konkrit). Juga sebab-sebab langsung dari perubahan
sosial adalah ketidaksesuaian individu dengan budaya yang ada. Pada waktu
ketidakpuasan meluas beberapa individu yang kreatif dapat menciptakan sebuah
pola budaya yang baru dengan cepat akan di setujui dengan orang yang lain.
Dengan demikian asal dari perubahan sosial adalah ketegangan dan ketidak puasan
yang dirasakan oleh individu-individu tertentu. Bila mana ketidak amanan cukup
kuat dan cukup meluas, pola baru akan mengecambah pada individu yang kreatif yang
secara perlahan-lahan di tiru oleh semua anggota masyarakat.
Pandangan
budaya realis terhadap budaya lebih dekat dengan pandangan aliran-aliran pemikiran
pendidikan yang terpercaya kepada penyesuaian anak-anak terhadap realita objektif,
baik alamiah maupun budaya dengan menanamkan pengetahuan, nilai-nilai, dan
ketrampilan-ketrampilan tertentu yang telah di pilih oleh kebudayaan. Lebih
berempati di bandingkan dengan kaum konseptualis, kaum realis mengingini sistem
pendidikan yang akan melatih individu untuk menimbang dan merubah kebudayaan mereka
berdasarkan nilai-nilai dasar mereka. Banyak pendidik tradisional untuk
mencapai tujuan ini dengan mendidik generasi muda tentang apa yang di anggap
kebenaran dan nilai yang permanen,
dengan mengunakan nilai-nilai yang ini generasi muda dapat mengatakan perubahan
sosial apa yang harus mereka bantu, hindari atau gerakan. Golongan tradisional
lain menganjurkan pendidikan ilmiah yang pokok, yang berguna bagi orang-orang
muda jika mereka harus memilih tujuan-tujuan yang diizinkan oleh kebudayaan
yang ada dan jika mereka akan menggunakan hukum-hukum kebudayaan yang di
ketahui mereka untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Perubahan dengan kata
lain bersifat evolusi bukan revolusi. Perubahan tersebut harus di bimbing oleh
asumsi-asumsi dasar kebudayaan itu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut
pandangan superorganis, kebudayaan adalah realitas super dan ada di atas dan di
luar pendukung individunya dan kebudayaan punya hukum-hukumnya sendiri. Dalam
pandangan konseptualis, kebudayaan bukanlah suatu entitas sama sekali, tetapi
sebuah konsep yang digunakan antropolog
untuk menghimpun serangkaian fakta-fakta yang terpisah-pisah. Dalam pandangan
para realis, kebudayaan adalah kedua-duanya yaitu sebuah konsep dan sebuah
entitas empiris. Kebudayaan adalah sebuah konsep sebab ia bangunan dasar dari
ilmu antropologi. Kebudayaan merupakan entitas empiris sebab konsep ini
menunjukkan cara sebenarnya fenomena-fenomena tertentu diorganisasikan.
Implikasi pandangan superorganis
terhadap pendidikan :
a.
Pendidikan adalah sebuah proses
dimana kebudayaan mengontrol orang dan membentuknya sesuai dengan tujuan
kebudayaan, sebagi alat yang digunakan masyrakat untuk melaksanakan kegiatanya
dalam mencapai tujuan.
b.
Pandangan superorganis juga
berimplikasi pada pengawasan pendidikan yang ketat dari pemerintah untuk
menjamin guru-guru menanamkan diri generasi muda tentang gagasan-gagasan,
sikap-sikap, dan ketarampilan-keterampilan yang perlu bagi kelanjuatan
kebudayaan.
c.
Jika perilaku masyarakat ditentukan
oleh kebudayaan, maka kurikulum sekolah yang merupakan salah satu insrtumen
dalam pendidikan haris dikembangkan atas kajian langsung dan kebudayaan
sekarang dan masa depan.
B. Saran
Setelah menyusun makalah yang berjudul Teori
Kebudayaan dan Implikasi dalam Pendidikan, kami berharap agar makalah ini dapat
bermanfaat kepada para pembaca khususnya pada pembelajaran mata kuliah Sosiologi
dan Antropologi Pendidikan. Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih
banyak kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun dari para pembaca
demi sempurnanya makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (2010).
Teori-Teori Kebudayaan. Diakses dari http://tentangkomputerkita.blogspot.com/2010/01/bab-2.html pada
tanggal 11 Maret 2015 pukul 13.00 WIB.
Arif. (2008).
Teori Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Budaya. Diakses dari http://staff.blog.ui.ac.id/arif51/2008/11/11/teori-kebudayaan-dan-ilmu-pengetahuan-budaya/ pada
tanggal 13 Maret 2015 pukul 13.10 WIB.
Erzuhedi. (2008).
Kebudayaan dan Pendidikan. Diakses dari http://erzuhedi.wordpress.com/ pada tanggal 13 Maret 2015 pukul
13.15 WIB.
Koentjaraningrat.
(1987). Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta
: UI-Press
Mbak ada bukunya mbak? Atau kirim via wa mbak. Salam kenal saling berbagi ilmu dr Blora Jateng. 082328249888
BalasHapus